MEMBANGUN SISTEM EKONOMI YANG ISLAMI
Disampaikan
pada Seminar Sehari tentang
“Peranan
Pondok Pesantren di Era Otonomi Daerah”
Munjul
Kab. Cirebon, 23 April 2005
“Dan carilah apa yang
telah dianugerhkan Allah kepadamu kebahagiaan di negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia; dan berbuat baiklah kamu kepada
orang lain sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan” (QS al-Qashash, 8:77)
I. PENDAHULUAN
Islam
adalah sistem hidup yang komprehensif, mencakup seleuruh aspek kehidupan,
termasuk masalah-masalah ekonomi, politik, sosial dan budaya. Untuk itu Allah SWT
menurunkan para Nabi dan Rasul yang diberi tugas untuk memberi petunjuk dan
membimbing umat manusia, baik yang menyangkut masalah teologi (aqidah)
dan praktek ibadah maupun yang menyangkut masalah-masalah mu’amalah.
Masalah-masalah teologi dan ibadah bersifat konstan, ajeg dan tidak berubah
sepanjang zaman, sedangkan masalah-masalah mu’amalah selalu berubah sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Di dalam praktek ibadah seperti shalat telah
diajarkan secara rinci dan ditransmisi secara mutawatir semenjak masa Nabi
hingga sekarang lengkap dengan persyaratannya tanpa ada penambahan atau
pengurangan sedidkitpun. Sedangkan di dalam sektor ekonomi (mu’amalah)
Al-Qur’an hanya menjelaskan prinsip-prinsip umum tentang larangan makan harta
secara ilegal (QS Al-Baqarah, 2:188 dan An-Nisa, 4:28) dan larangan makan riba
(QS Ali Imran,3:130 dan Al-Baqarah, 2:278). Dengan demikian umat Islam bebas
melakukan pengembangan usaha sesuai dengan sistem perekonomian yang berlaku di
masyarakat sepanjang tidak melanggar rambu-rambu tersebut.
Syari’at
Islam diturunkan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan umat manusia baik di
dunia maupun di akhirat kelak (fie al-dunya hasanah wa fie al-akhirah
hasanah). Oleh karena itu aturan-aturannya secara keseluruhan akan mengarah
ke sana. Maka dengan demikian pelaksanaan Islam secara kaffah, meliputi
hubungan langsung kepada Allah (ibadah mahdlah) dan hubungan dengan
sesama manusia (mu’amalah madaniyah) akan melahirkan tatanan sosial yang
tertib, aman dan sejahtera, Al-Qur’an menyebut tatanan masyarakat yang tetib
ini “hayatan thayyibah” (QS An-Nahl,
16:97). Sebaliknya, menolak aturan tersebut atau tidak ada kemauan untuk
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, akan menimbulkan kekacauan sosial
dan akhirnya menemui kesulitan hidup baik di dunia maupun di akhirat (QS Thaha,
20:124-126).
II. PENGERTIAN
Kata “sistem” berasal dari bahasa Inggeris system
yang berarti susunan, jaringan, atau cara (John M. Echols dan Hassan Shadily,
1997 : 575). Dalam Kamus bahasa Indonesia sistem diartikan sekelompok
bagian-bagian (alat dsb) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu
maksud, atau sekelompok pendapat, peristiwa, kepercayan dan sebagainya yang
disusun dan diatur dengan baik (WJS Poerwadarminta, 1976 : 955). Dari
keterangan tersebut terlihat bahwa secara leteral sistem adalah susunan
unsur-unsur atau bagian-bagian yang satu dengan yang lainnya saling
berhubungan.
Kata “ekonomi” berasal dari bahasa Latin Ekos
yang berarti rumah tanga atau tempat tingal dan Nomos yang berarti
telaah, kajian atu ilmu. Dengan demikian ekonomi artinya ilmu yang
menelaah atau mempelajari tentang seluk
beluk keluarga (M. Zaidi Abdad, 2003 : 2). Dalam Kamus bahasa Indoneia ekonomi
artinya pengetahuan dan penyelidikan mengenai asas-asas penghasilan (produksi),
pembagian (distribusi) dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (WJS
Poerwadarminta, 1976 : 267).
Sedangkan kata “Islami”, maksudnya ialah
berdasarkan ajaran Islam. Dari keterangan tersebut, maka yang dimaksud dengan
sistem ekonomi yang Islami ialah ilmu pengetahuan mengenai asas-asas produksi,
distribusi dan pemakaian barang atau jasa yang berdasarkan ajaran Islam.
C.
CIRI
EKONOMI YANG ISLAMI
Secara teologis aktifitas ekonomi termasuk
bagian ibadah yang wajib dilaksanakan karena bertujuan untuk mencapai kebutuhan
hidup yang bersifat primer (dharurie). Doktrin Islam di bidang ini
(Al-Qur’an dan Al-Hadits) seperti disebutkan dalam pendahuluan hanya memberikan
rambu-rambu yang bersifat umum, tidak memberikan ketentuan secara eksplisit
sehingga pelaku bisnis secara leluasa dapat mengikuti perkembangan sistem
perekonomian pada setiap masa. Prinsip-prinsip itu ialah :
1. Legal, seperti transaksi jual beli, sewa
menyewa, muzara’ah, mukhabarah, mudharabah, murabahah, akad syirkah dan
sebagainya (Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain
diantara kamu dengan jalan yang batil. QS Al-Baqarah, 2 : 188).
2. Non
ribawie, tidak ada unsur penarikan bunga atau jasa uang yang dipinjamkan atau
jasa tukar menukar barang-barang ribawi secara berlebih kurang (Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba. QS Ali Imran, 3 : 130)
3. Tidak sepekulatif, tidak ada unsur
untung-untungan seperti dalam perjudian dan berbagai pola undian berhadiah,
karena ada larangan dari Nabi tentang jual beli dengan cara menyentuh barang (bai’
al-mulamasah), jual beli dengan cara melempar benda (bai’
al-munabadzah), jual beli tanaman dengan beberapa kiwintal bahan
makanan (bai’ al-muhaqalah), jual beli buah-buahan yang masih di pohon
dengan beberapa kwintal buah-buahan (bai’ al-muzabanah),
dan jual beli buah-buahan yang masih belum layak jual (bai’
al-mukhadharah).
4. Tidak eksploratif, tidak ada pemerasan atau
penekanan para pihak yang melakukan transaksi (jual-beli dengan suka sama
suka / taradhin minkum QS Al-Baqarah, 2 : 188)
IV. AKTIFITAS EKONOMI
1. Perintah Beraktifitas
Banyak ditemukan dalam Al-Qur’an dan
Al-Sunnah teks yang mengandung perintah untuk beraktifitas dan berikhtiyar
dalam rangka meningkatkan penghasilan keluarga (ber-ekonomi), misalnya kata kasaba
(berusaha), shana’a (mengolah atau memproduksi), thalab al-halal
(mencari yang halal), yaghrisu (menanam tanaman keras), yazra’u
(menebar biji-bijian), siruu fie al-ardli wabtaghuu min fadllillah
(berjalanlah di muka bumi dan carilah dari anugerah Allah) dan lain-lainnya. Umar
bin Khaththab sebagai Amiril Mu’minin pernah memecut seorang laki-laki yang
berada di dalam masjid yang dinilai terlalu giat berdzikir tanpa giat berusaha
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan berkata :“Tinggalkan masjid ini dan
carilah rizki, sebab langit tidak akan menurunkan hujan emas” (Thahir Luth,
2001 : 51).
Apabila dicermati kisah ini mengandung
filosofi yang tinggi, yakni bahwa sektor ekonomi menduduki posisi penting
sebagaimana pentingnya masalah-masalah ritual, keduanya harus dicapai secara seimbang.
2. Landasan Teologis
Secara teologis setiap muslim harus
meyakini bahwa setiap pekerjaan, termasuk aktifitas ekonomi yang dilaksanakan
berdasarkan perintah agama merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan (Thalab
al-halal wajibun ‘ala kulli muslim. h.r. al-Thabarani) dan nilainya sama
dengan berjihad fie sabilillah (Thalab al-halal jihaadun, h.r.
al-Qudha’ie ‘an Ibni Abbas). Dengan landasan ini mental seorang muslim akan
tergerak untuk melakukan aktifitas bisnis secara selektif sehingga hasilnya bukan
saja dapat dipertanggng jawabkan kepada manusia tetapi juga kepada Allah SWT.
3. Membangun Etika Ekonomi
Harus ada perbedaan antara pelaku ekonomi
muslim dengan pelaku ekonomi lainnya. Pelaku ekonomi muslim harus menempatkan
agamanya sebagai pedoman dalam berbisnis. Baginya agama adalah guiding
principle, prinsip yang membimbing setiap langkah dan gerak, termasuk
mengontrol seluruh aktifitas bisnis yang ditekuni selama ini, tidak ada yang
lepas dan terelak, semuanya terawasi. Dengan demikian tidak ada pemisahan
antara bisnis dengan agama yang dipeluknya seperti yang dilontarkan oleh
sementara orang :“bisnis ya bisnis agama ya agama; seni ya seni agama jangan
dibawa-bawa”. Sikap mental yang kuat berpegang kepada agama akan melahirkan
etika bisnis yang jujur, terbuka, tidak spekulatif, tidak manipulatif dan tidak
berprilaku “al-ghayah tubarriru al-wasilah” (tujuan menghalalkan
segala cara).
Membangun moral Islam sebagai fundamental
values dalam berbisnis sangat penting artinya, karena hal itu akan menjamin
peningkatan mutu produk dan hasil usaha, baik dalam ekonomi mikro maupun
ekonomi makro. Ada sebuah kisah dalam al-qur’an yang patut diangkat dalam
permasalahan ini, yaitu ketika Nabi Musa as terpilih menjadi pegawai di
lingkungan keluarga Nabi Su’eb, dasar pertimbangannya adalah : “Sesungguhnya
orang yang paling baik yang diambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat dan
yang dapat dipercaya” (QS al-Qashshash, 28:28) Ayat ini menggambarkan bahwa manusia (man)
adalah unsur terpenting dalam mencapai keberhasilan usaha, yaitu cakap dan
profesional (al-qawie) dan terpercaya (al-amin). Bahan-bahan (material),
biaya (money), cara (method) dan peralatan (mechine)
adalah unsur-unsur yang sangat tergantung kepada manusia tersebut. Apabila
manusianya (man) bermoral (Islam), maka aset perusahaan akan aman dan
kesejahteraan-pun akan meningkat, sebaliknya apabila tidak bermoral, maka
perusahaan tersebut cepat atau lambat akan bangkrut dan hancur.
V. KONTROVERSI ULAMA DALAM BUNGA BANK
1. Riba Sebagai PR Umat Islam
Berabad-abad lamanya umat Islam dihadapkan
pada sebuah pekerjaan rumah (PR) yang tak ada habis-habisnya, yakni masalah
perbankan yang berkaitan dengan penarikan bunga atau riba dalam sektor
ekonomi. Sebenarnya pelarangan pengambilan bunga (riba) dalam Al-Qur’an
merupakan koreksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat pada
saat itu. Masyarakat pada saat itu menarik bunga pada setiap transaksi utang
piutang hingga berlipat ganda sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan (riba
nasi’ah). Selain itu banyak pedagang sembako yang melakukan praktek
spekulasi di pasaran. Mereka menerima bermacam-macam jenis beras, gandum,
tamar, garam dan lain-lain kemudian menukarnya dengan barang yang sama dengan
penambahan dan pengurangan (riba fadlal).
Secara
historis semua agama samawi (taurat, injil dan zabur) telah melarang praktek
pengambilan bunga tersebut. Dalam Islam pelarangan pengambilan bunga dilakukan
secara bertahap (tadrijie). Tahap pertama belum melarang secara
tegas, tetapi hanya memberikan perbandingan antara riba dan zakat (QS Ar-Rum,
30 : 20) sebagaimana dalam ayat lain Allah memberikan perbandingan antara dosa
dan pahala. Tahap kedua hanya menjelaskan kasus orang-orang Yahudi yang
tidak konsekwen terhadap ajaran agamanya, termasuk makan riba yang sebenarnya
telah dilarang(QS An-Nisa, 4 : 160-161). Tahap ketiga turun larangan
memungut riba yang berlipat ganda (QS Ali Imran, 3 : 130). Dan tahap keempat
barulah pelarangan riba diberlakukan secara total, baik sedikit mapun banyak
(QS. Al-Baqarah, 2 : 278).
2. Pandangan Ulama Terhadap Bunga Bank
Menurut
Abu Zahrah, bagi pemuka agama Islam yang mengambil hukum berdasarkan Al-Qur’an
dan Al-Sunnah serta Ijma Ulama Salaf tanpa terkontaminasi oleh pemikiran Barat
(baca : luar Islam) sebagaimana yang berkembang pada awal Islam, tidaklah
mungkin akan mengatakan bahwa riba jahiliyah atau riba nasi’ah dalam segala
bentuknya adalah halal, karena hal itu seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad
bin Hanbal telah diharamkan secara sharih dalam Al-Qur’an, yaitu :
وإن تبتم فلكم رؤوس أموالكم لاتظلمون ولاتظلمون-البقرة 279
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” (QS
Al-Baqarah, 2:279)
Para Ulama telah sepakat bahwa pengertian
riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an mencakup semua tambahan dalam transaksi
utang piutang. Mereka telah meyakini bahwasanya tidak ada kemaslahatan pada
riba yang telah diharamkan oleh Al-Qur’an dan oleh agama-agama terdahulu itu
(Abu Zahrah, Buhutsun fie al-riba : 47-48). Ulama yang sependapat
dengan Abu Zahrah ini mengemukakan argumen sebagai berikut :
a. Abu Al-A’la
al-Maududi dalam bukunya “al-Riba”
menjelaskan bahwa institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan. Bunga
akan mewnyengsarakan dan menghancurkan masyarakat, karena penarikan bunga akan
mempengaruhi karakter manusia. Selain itu penarikan bunga yang dilakukan terus
menerus menimbulkan perasaan rakus terhadap harta dan berhasrat untuk
menghimpun harta sebanyak-banyak walau dengan jalan apapun. Orang tersebut
cenderung tidak mengindahkan rambu-rambu dari Syari’at. Bunga juga menimbulkan
egois, bakhil dan berwawasan sempit, berhati batu, hanya mementingkan diri
sendiri. Terbukti apabila peminjam mendapat kesulitan untuk membayar hutangnya,
maka asset apa saja yang dimiliki peminjam harus diserahkan dan diangkut untuk
melunasi utangnya.
b. Dalam
hubungan internasional
bunga telah meretakan solidaritas antar bangsa. Pada masa peraang dunia II
Inggris meminta para sekutunya yang lebih kaya untuk membantu keuangan tanpa
bunga. Amerika Serikat menolak dan Inggris terpaksa menyetujui persyaratan
perjanjian pinjaman yang terkenal sebagai Brettonwood Agreement. Desakan
kebutuhan perang menyebabkan Inggris terpaksa menyetujui perjanjian tersebut,
tetapi sebenarnya hatinya kecewa dan sedih yang amat dalam (Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah :110-111)
c. Sebahagian
besar kaum dhu’afa
mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pendapatan
mereka sebagiannya diambil oleh pemilik modal dalam bentuk bunga. Jutaan
manusia di negara-negara berkembang termasuk Indonesia menggunakan seluruh
hidupnya untuk membayar utang, sedangkan upah dan gaji mereka umumnya sangat
rendah. Denghan adanya pembayaran angsuran bunga yang berat dan terus menerus menyebabkan
daya beli kalangan mereka berkurang dan akhirnya dapat menghancurkan pendidikan
anak-anak mereka. Dengan demikian pembayaran bunga yang memberatkan bukan hanya
berdampak pada kehidupan pribadi, tetapi juga mengancam masa depan bangsa dan
perekonomian.
d. Pinjaman
modal umumnya diajukan
oleh para pedagang atau para pengrajin kecil (home industri) atau oleh
para petani untuk tujuan memproduksi sawahnya. Namun upaya mereka sering
terhambat atau bahkan menjadi hancur disebabkan karena penguasaan modal oleh
para kapitalis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha besar atau
konglomerat yang dekat dengan sumber kekuasaan mengambil jatah pengusaha kecil
disamping membebani bunga yang lebih besar kepada pengusaha kecil tersebut.
Dengan demikian sistem bunga menjerat kaum dhu’afa yang berdampak sangat luas,
baik dalam sektor ekonomi maupun sekuriti.
e. Al-Razi mengatakan bahwa transaksi yang melibatkan
bunga sama halnya dengan merampas harta orang lain. Dalam hal ini transaksi
satu rupiah ditukar dengan dua rupiah, baik dalam bentuk tunai maupun kridit.
Atau satu wasaq (takaran Arab) ditukar dengan dua wasaq. Salah satu pihak
menerima kelebihan tanpa mengeluarkan apa-apa. Jenis transaksi ini merupakan
tindakan sewenang-wenang yang mengakibatkan peminjam berada dalam tekanan
eksploitasi. Rasulullah SAW secara tegas mengatakan bahwa harta seseorang
diharamkan sama dengan darahnya (khutbah al-wada’).
3.Beberapa Alasan Pembenaran Pengambilan
Bunga
Ulama kontemporer melakukan ijtihad untuk
menemukan hukum pengambilan bunga dalam transaksi utang piutang, khususnya yang
dilakukan oleh bank konvensional berhubung di lapangan pelaku bisnis menemui
kesulitan untuk menghindar dari sistem ekonomi yang dilarang tersebut.
Sayangnya hasil ijtihad mereka tidak menemui kata sepakat, sebagian mereka
membolehkan dan sebagian yang lainnya mengharamkan. Ulama yang membolehkan
pengambilan bunga dalam transaksi utang piutang mengemukakan beberapa alasan
sebagai berikut :
a. Alasan
Retorika; mereka mengemukakan bahwa kata “riba”
bukanlah suatu kata yang secara eksplisit mencakup bunga bank, apa lagi lembaga
bank waktu itu belum ada. Dengan demikian bunga bank tidak termasuk riba yang
tegas dilarang oleh Al-Qur’an, melainkan termasuk perkara syubhat.
b. Alasan
logik; bahwa
pengambilan bunga (riba) yang dilarang adalah pengambilan bunga pada transaksi
utang-piutang konsumtif (li al-istighlak) bukan utang-piutang produktif
(laa li al-istighlal / laa li al-intaj). Adapun utang-piutang produktif
seperti utang yang digunakan untuk membiayai sebuah proyek atau untuk membuka
sebuah usaha maka wajarlah apabila pihak yang berpiutang turut mengambil
keuntungan seperti halnya dalam serikat dagang (al-syirkah) atau dalam
perjanjian bagi hasil (aqad al-murabahah / aqad al-mudlarabah).
c. Merujuk
yurisprudensi; kelompok pembela pembenaran riba
mengemukakan bahwa ahli hukum Islam (fuqaha) telah sepakat membolehkan
untuk menentukan harga kridit lebih tinggi dari pada harga cash. Mereka merujuk
pada pendapat pemuka madzhab Hanafi bernama Ibnu Abidin yang mengatakan bahwa
menjual barang dengan harga kridit kemudian dibayar lunas (cash) dapat dipotong
harganya sesuai dengan jangka waktu pelunasan.
d. Alasan
jasa penggunaan/manfaat: kelompok ini mengenukakan bahwa seseorang
apabila mempunyai uang tentunya dapat digunakan untuk memenuhi berbagai
kepentingan hidupnya. Tetapi karena uang itu dipinjamkan kepada orang lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak dapat ditutup dengan dana
cadangan pribadinya, maka uang yang seharusnya digunakan untuk dirinya
diberikan kepada orang lain tersebut. Dalam hal ini pemilik uang tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan uang tersebut karena
mementingkan kepentingan orang lain. Maka wajarlah apabila pemilik uang meminta
imbalan jasa berupa tambahan seperti pengambilan jasa pada sewa rumah atau sewa
barang lainnya (Al-Maududi, Al-Riba, 9)
e. Alasan
ekonomi: mereka mengemukakan bahwa nilai uang waktu
terjadi transaksi utang piutang dibandingkan dengan nilai uang waktu membayar
sudah berkurang karena jangka waktu yang lama, apalagi jika laju inflasi sangat
tinggi, maka nilai uang jelas berkurang. Oleh karena itu pungutan bunga adalah
wajar, karena untuk menutupi kekurangan nilai uang tersebut.
f. Alasan
dlarurat (emergrnsy); bahwa sistem ekonomi saat ini tidak
terlepas dari sistem perbankan, dan sistem perbankan tidak terlepas dari sistem
bunga (riba). Dengan demikian umat Islam terjebak ke dalam sistem
ekonomi tersebut dan tidak mungkin dapat mengelak dari padanya (dlarurat),
ibarat air laut sudah asin semuanya (umum al-balwa), tidak ada pilihan
lain kecuali menerima apa adanya (Abu Zahrah, Buhutsun fi al-riba, 59-63)
4.Fatwa Ulama Kontemporer
Hampir
semua organisasi Islam baik di Indonesia maupun di luar negeri telah membahas
masalah riba. Oraganisasi-organisasi Islam itu umumnya memiliki lembaga ijtihad
seperti “Lajnah Bahtsul Masa’il” NU, “Majelis Tarjih” Muhammadiyah, dan “Dewan
Hisbah” Persis. Berikut ini diturunkan beberapa keputusan hasil pembahasan
mereka terhadap bunga bank (Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : 88-94)
a
Keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il
Lajnah bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama
telah membahas masalah bunga bank konvensional berkali-kali. Di antaranya di
Bandar Lampung tahun 1982, hasilnya tidak sepakat, bahkan membuka peluang untuk
berspekulasi dengan beberapa obsih yang ditawarkan, yaitu : (1) bunga bank sama
dengan riba secara mutlak maka hukumnya haram, (2) bunga bank tidak sama dengan
riba karena tidak disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya halal, (3) bunga
bank hukumnya syubhat (belum jelas halal dan haramnya) karena para fuqaha
berselisih pendapat, (4) bunga konsumtif hukumnya haram dan bunga produktif
hukumnya halal, dan (5) bunga yang diperoleh dari giro atau deposito hukumnya
tidak haram.
b Majelis Tarjih
Muhammadiyah
Majelis Tarjih Muhammadiyah juga sudah
berkali-kali membahas bunga bank tersebut, yaitu tahun 1968 di Sidoarjo, tahun
1972 di Wiradesa Pekalongan, tahun 1976 di Garut dan tahun 1989 di Malang. Di
antara keputusannya (1) riba hukumnya haram dengan nash al-qur’an dan
al-sunnah, (2) bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba
hukumnya boleh, (3) bunga yang dibertikan oleh bank-bank milik negara kepada
para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku termasuk perkara
musytabihat, dan (4) koperasi simpan pinjam hukumnya mubah karena tambahan pada
koperasi tidak termasuk riba, namun disarankan agar jumlah tambahannya tidak
melebihi laju inflasi.
c Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Sidang
OKI Desember 1970 di Karachi menyepakati bahwa praktek perbankan dengan sistem
bunganya tidak sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena itu perlu segera
mendirikan bank-bank alternatif yang beroperasi dengan prinsip-prinsip
syari’ah. Hasil kesepakatan inilah yang melatar belakangi berdirinya Bank Pembangunan
Islam atau Islamic Development Bank (IDB)
d. Mufti Negara Mesir
Mufti
Negara Mesir selalu konsisten terhadap ketentuan hukum bunga bank konvensional
sejak tahun 1900 hingga tahun 1989 bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk
riba yajg diharamkan oleh syari’at.
Mencermati
beberapa keputusan fatwa dari lembaga-lembaga ijtihad (fatwa) dari organisasi
Islam tersebut menggambarkan betapa sulitnya umat Islam keluar dari jeratan
riba, hampir seluruh bentuk bisnis telah terkontaminasi riba. Cara yang paling
tepat untuk menghindarinya adalah mendirikan bank-bank syari’ah yang non
ribawi, dan masing-masing individu sadar akan bahaya riba (dosa) dan segera
menuju bank-bank yang non ribawi.
VI. BANK
SYARI’AH SEBAGAI AL-TERNATIF
Sebenarnya sudah cukup lama umat
Islam menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai dan prinsip-prinsip
syari’ah untuk dapat diterapkan dalam segala bentuk bisnis dan transaksi.
Keinginan ini didasari oleh kesadaran bahwa mengamalkan Islam secara kaffah
merupakan kewajiban yang melekat pada setiap muslim. Telah banyak usaha yang
dilakukan oleh organisasi Islam, baik di Indonesia maupun di luar negeri untuk
mendirikan lembaga-lembaga ekonomi yang Islami tersebut. Di Indonesia lembaga
itu baru terwujud pada tahun 1992, yaitu dengan didirikannya Bank Mu’amalat
Indonesia (BMI) di Jakarta. Kemudian muncul bank-bank perkriditan rakyat
(BPR-BPR) syari’ah di beberapa kota dan akhirnya tumbuh dan berkembang
bank-bank syari’ah milik negara seperti Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, Bank
Jabar Syari’ah dan BRI Syari’ah.
Dasar pemikiran pengembangan bank
syari’ah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada sebagian
masyarakat yang tidak dapat dilayani oleh perbankan konvensional karena bank
tersebut menggunakan sistem bunga. Adalah merupakan kenyataan bagi masyarakat
muslim yang berkeyakinan bahwa kegiatan perbankan yang menggunakan sistem bunga
tidak sejalan dengan syari’at Islam sehingga kebutuhan mereka tidak dapat
dilayani oleh perbankan tersebut. Dengan demikian munculnya bank-bank syari’at
diharapkan dapat memobilisir dana dan potensi ekonomi masyarakat yang optimal,
disamping secara teologis dapat menyelamatkan mereka dari sikap mendua dalam
penggunaan jasa bank, yakni di satu sisi meyakini bahwa bank-bank konvensional tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip syari’at, di sisi lain sangat membutuhkan jasa
bank tersebut, terutama bagi pelaku bisnis untuk menyimpan dan mentransfer uang
yang aman dan terpercaya serta dapat mengambilnya kembali dengan cara yang
mudah, cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan. Maka kehadiran bank-bank
syari’ah di tengah-tengah masyarakat merupakan jalan keluar bagi sebagian
masyarakat yang tidak dapat dilayani dengan bank-bank konvensional.
VII.
PENUTUP
Telah lama umat Islam mendambakan kehadiran
lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah dalam rangka
mengembangkan usaha dan bisnis. Kini lembaga yang ditunggu-tunggu itu telah
hadir, yaitu dengan dibentuknya Bank Muamalat Indonesia dan bank-bank syari’ah.
Oleh karena itu sayogyanya umat Islam memberikan dukungan yang penuh kepada
lembaga-lembaga keuangan tersebut. Kepada pihak lembaga diharapkan agar
melakukan sosialisasi terus menerus untuk memperkenalkan produk dan mekanisme
per-bank-an syari’ah kepada masyarakat sehingga mereka mendapat informasi yang
akurat, di samping harus mampu bersaing dengan bank-bank konvensional yang
memberikan pelayanan yang mudah, murah dan terpercaya. Insya Allah bank-bank
syari’ah memeiliki masa depan yang cerah, karena kehadirannya memang sedang ditunggu-tunggu.
‘Alallahi tawakkalna wa ilaihil mashier. Billahit taufiq walhidayah wal
‘inayah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (H. Mukhlisin Muzarie)