ETIKA
BERUSAHA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
Oleh : H Mukhlisin Muzarie
Dosen STAI Cirebon
Disampaikan pada
Semiloka Kebangkitan Bank Syari’ah
Dalam perspektif
Kebangkitan Umat
Cirebon, 28
Agustus 2003
“Dan carilah
apa yang telah dianugerhkan Allah kepadamu kebahagiaan di negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia; dan berbuat baiklah
kamu kepada orang lain sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS al-Qashash, 8:77)
I.
PENDAHULUAN
Islam adalah sistem hidup yang
komprehensif, mencakup seleuruh aspek kehidupan, termasuk masalah-masalah
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Untuk itu Allah SWT menurunkan para Nabi
dan Rasul untuk memberikan petunjuk dan bimbingan kepada umat manusia, baik
yang menyangkut teologi (aqidah) atau ritual (ibadah mahdlah)_maupun
yang menyangkut masalah-masalah mu’amalah. Masalah-masalah teologi dan ritual
bersifat konstan, ajeg dan tidak berubah sepanjang zaman, sedangkan masalah
mu’amalah selalu berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Di dalam sektor
ekonomi al-qur’an hanya menjelaskan prinsip-prinsip umum tentang larangan makan
harta secara elegal (QS Al-Baqarah, 2:188 dan An-Nisa, 4:28) dan larangan makan
riba (QS Ali Imran,3:130 dan Al-Baqarah, 2:278). Dengan demikian umat Islam
bebas melakukan bisnis sesuai dengan sistem perdagangan yang berlaku di
masyarakat sepanjang tidak melanggar rambu-rambu tersebut.
Syari’at Islam diturunkan dengan tujuan
untuk menjamin keselamatan baik di dunia maupun di akhirat (fie al-dunya
hasanah wa fie al-akhirah hasanah). Oleh karena itu aturan-aturannya ada
yang bersifat memaksa : wajib (harus dilakasanakan) atau haram (harus
ditinggalkan), ada yang bersifat anjuran : sunnah (sebaiknya
dilaksanakan) atau makruh (sebaiknya ditinggalkan), dan ada yang mubah
(bebas memilih antara melakukan dengan tidak melakukan).
Pelaksanaan Islam secara kaffah dan
konsisten dalam seluruh konteks kehidupan, baik yang berhubungan langsung
dengan Allah Maha Pencipta (ritual) maupun yang ada kaitannya dengan
sesama manusia (mu’amalah madaniyah) akan melahirkan tatanan sosial yang
tertib, aman dan sejahtera, al-qur’an menyebutnya sebagai tatanan hidup yang
baik atau “hayatan thayyibah” (QS An-Nahl, 16:97). Sebaliknya, menolak aturan
tersebut atau tidak ada keinginan sama sekali untuk mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari, akan
menimbulkan kekacauan sosial dan kesulitan hidup baik di dunia maupun di
akhirat (QS Thaha, 20:124-126).
II.
PARADIGMA USAHA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1. Konsep
Usaha
Banyak
ditemukan teks al-qur’an dan al-sunnah yang mengandung perintah untuk berusaha
dan berikhtiyar, misalnya kata kasaba (berusaha), shana’a (mengolah
atau memproduksi), thalab al-halal (mencari yang halal), yaghrisu
(menanam tanaman keras), yazra’u (menebar biji-bijian), siruu fie
al-ardli wabtaghuu min fadllillah (berjalanlah di muka bumi dan
carilah dari anugerah Allah) dan lain-lainnya. Umar bin Khaththab sebagai
Amiril Mu’minin pernah memecut seorang laki-laki yang berada di dalam masjid
yang dinilai terlalu giat berdzikir tanpa giat berusaha dan berikhtiyar,
kemudian berkata:“Tinggalkan masjid ini dan carilah rizki, sebab langit
tidak akan menurunkan hujan emas” (Thahir Luth, 2001:51).
Apabila
dicermati kisah ini mengandung filosofi yang tinggi, yakni bahwa rizki harus
dicari. Janganlah menghayal bahwa rizki akan datang dengan sendirinya tanpa
berusaha dan tanpa berikhtiyar dengan sungguh-sungguh. Rizki akan diperoleh
melalui usaha dan doa. Pola usaha yang ditempuh harus profesional sesuai dengan
keahlian atau keterampilan masing-masing. Allah membagi-bagi rahmatnya melalui
keahlian dan profesinya itu. Namun demikian karena keberhasilan yang hakiki
masih misterius, maka banyak-banyaklah membaca doa (QS Az-Zuhruf, 43:32)
2. Teologi
Usaha
Secara
teologis setiap muslim harus meyakini bahwa bekerja atau berusaha merupakan
ibadah yang wajib dilaksanakan (Thalab al-halal wajibun ‘ala kulli muslim.
h.r. al-Thabarani) dan nilainya sama dengan berjihad fie sabilillah (Thalab
al-halal jihaadun, h.r. al-Qudha’i ‘an Ibni Abbas). Dengan landasan
teologis ini mental seorang muslim akan tergerak untuk mencari nafkah yang
halal melalui usaha-usaha yang selektif sehingga hasilnya bukan saja dapat
dipertanggng jawabkan kepada manusia tetapi juga kepada Allah SWT.
3. Membangun
Etika Usaha
Ada
perbedaan yang mencolok antara pengusaha yang beragama dengan pengusaha yang
tidak beragama atau agamanya hanya sekedar simbol saja. Pengusaha yang beragama
menempatkan agamanya sebagai pedoman dalam bekerja dan berusaha. Baginya agama
adalah guiding principle, prinsip yang membimbing setiap langkah dan
gerak, termasuk mengontrol seluruh aktifitas bisnis yang ditekuni selama ini,
tidak ada yang lepas dan mengelak, semuanya terawasi. Dengan demikian tidak ada
pemisahan antara bisnis dengan agama yang dipeluknya seperti yang dilontarkan
oleh sementara orang :“bisnis ya bisnis agama ya agama; seni ya seni agama
jangan dibawa-bawa”. Sikap mental yang kuat berpegang kepada agama akan
melahirkan etika bisnis yang jujur dan terbuka, tidak spekulatif, tidak
manipulatif dan tidak berprilaku “al-ghayah tubarriru al-wasilah”
(tujuan menghalalkan segala cara).
Lain
halnya dengan orang-orang yang tidak beragama atau agama hanya dibibir saja,
mereka akan menganut prinsip untuk mencapai tujuan menghalalkan segala cara (the
aim justify the ways). Mereka membabi buta untuk mengejar keuntungan
materi, memeras rakyat, mengeksploitir para pekerja dan bersenang-senang di
atas penderitaan orang lain tanpa mengenal belas kasihan. Mereka kehilangan
moral agama sebagai fundamental values (nilai yang amat mendasar) yang
menerangi kehidupan.
Membangun
moral agama sebagai fundamental values dalam berbisnis sangat penting artinya,
karena hal itu menjamin peningkatan mutu produk dan hasil usaha, baik dalam
ekonomi mikro maupun ekonomi makro. Ada sebuah kisah dalam al-qur’an yang patut
diangkat dalam permasalahan ini, yaitu ketika Nabi Musa as terpilih menjadi
pegawai di lingkungan keluarga Nabi Su’eb, dasar pertimbangannya adalah : “Sesungguhnya
orang yang paling baik yang diambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat dan
yang dapat dipercaya” (QS al-Qashshash, 28:28) Ayat ini menggambarkan bahwa manusia (man)
adalah unsur terpenting dalam mencapai keberhasilan usaha, yaitu cakap dan
profesional (al-qawie) dan terpercaya (al-amin). Bahan-bahan (material),
biaya (money), cara (method) dan peralatan (mechine)
adalah unsur-unsur yang sangat tergantung kepada manusia tersebut. Apabila
manusianya (man) bermoral, maka aset perusahaan akan aman dan
kesejahteran akan meningkat, sebaliknya apabila tidak bermoral maka perusahaan
tersebut akan bangkrut dan hancur
C.
III. KONTROVERSI ULAMA DALAM BUNGA BANK
1. Pendahuluan
Berabad-abad
lamanya umat Islam dihadapkan pada sebuah pekerjaan rumah (PR) yang tak ada
habis-habisnya, yakni masalah perbankan yang berkaitan dengan penarikan bunga
atau riba dalam sektor ekonomi. Sebenarnya pelarangan pengambilan bunga
(riba) dalam al-qur’an merupakan koreksi terhadap penyimpangan yang
dilakukan oleh masyarakat pada saat itu. Masyarakat pada saat itu menarik bunga
pada setiap transaksi utang piutang hingga berlipat ganda sesuai dengan jangka
waktu yang ditentukan (riba nasi’ah). Selain itu banyak pedagang sembako
yang melakukan praktek spekulasi di pasaran. Mereka menerima bermacam-macam
jenis beras, gandum, tamar, garam dan lain-lain kemudian menukarnya dengan
barang yang sama dengan penambahan atau pengurangan (riba fadlal).
Secara
historis semua agama samawi (taurat, injil dan zabur) telah melarang praktek
pengambilan bunga tersebut. Dalam Islam pelarangan pengambilan bunga dilakukan
secara bertahap (tadrijie). Tahap pertama belum melarang secara tegas,
tetapi hanya memberikan perbandingan antara riba dan zakat (QS Ar-Rum, 30:20)
sebagaimana dalam ayat lain Allah memberikan perbandingan antara dosa dan
pahala. Tahap kedua hanya menjelaskan kasus orang-orang Yahudi yang tidak
konsekwen terhadap ajaran agamanya, termasuk makan riba yang sebenarnya telah dilarang(QS
An-Nisa, 4:160-161). Tahap ketiga turun larangan memungut riba yang berlipat
ganda (QS Ali Imran, 3:130). Dan tahap keempat baru pelarangan riba secara
total, baik sedikit mapun banyak, belipat ganda atau tidak berlipat ganda
semuanya dilarang (QS Al-Baqarah, 2:278).
2. Pandangan
Ulama Terhadap Bunga Bank
Menurut Abu
Zahrah, bagi pemuka agama Islam yang mengambil hukum berdasarkan al-qur’an dan
al-sunnah serta ijma ulama salaf tanpa terkontaminasi oleh pemikiran Barat
(baca:luar Islam) sebagaimana yang berkembang pada awal Islam, tidaklah mungkin
akan mengatakan bahwa riba jahiliyah atau riba nasi’ah dalam segala bentuknya
adalah halal, karena hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
telah diharamkan secara sharih dalam al-qur’an, yaitu :
وإن تبتم فلكم رؤوس أموالكم لاتظلمون ولاتظلمون-البقرة 279
“Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya” (QS Al-Baqarah, 2:279)
Para
Ulama telah sepakat bahwa pengertian riba yang diharamkan oleh al-qur’an
mencakup semua tambahan dalam transaksi utang piutang. Mereka telah meyakini
bahwasanya tidak ada kemaslahatan pada riba yang telah diharamkan oleh
al-qur’an dan oleh agama-agama terdahulu itu (Abu Zahrah, Buhutsun fie
al-riba : 47-48). Mereka mengajukan bukti-bukti sebagai berikut :
a).
Abu Al-A’la al-Maududi dalam bukunya “al-Riba” menjelaskan bahwa institusi
bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan. Bunga akan mewnyengsarakan dan
menghancurkan masyarakat, karena penarikan bunga akan mempengaruhi karakter
manusia. Penarikan bunga yang dilakukan terus menerus menimbulkan perasaan
rakus terhadap harta dan berhasrat menghimpun harta sebanyak-banyak walau
dengan jalan apapun. Orang tersebut cenderung tidak m,engindahkan rambu-rambu
dari Allah SWT. Bunga juga menimbulkan egois, bakhil dan berwawasan sempit,
berhati batu, hanya mementingkan diri
sendiri. Terbukti apabila peminjam mendapat kesulitan untuk membayar hutangnya,
maka asset apa saja yang dimiliki peminjam harus diserahkan dan diangkut untuk
melunasi utangnya.
b).
Dalam hubungan internasional bunga telah meretakan solidaritas antar bangsa.
Pada masa peraang dunia II Inggris meminta para sekutunya yang lebih kaya untuk
membantu keuangan tanpa bunga. Amerika Serikat menolak dan Inggris terpaksa
menyetujui persyaratan perjanjian pinjaman yang terkenal sebagai Brettonwood
Agreement. Desakan kebutuhan perang menyebabkan Inggris terpaksa menyetujui
perjanjian tersebut, tetapi sebenarnya hatinya kecewa dan sedih yang amat
dalam. Kebencian dan kekecewaan Inggris dikemukakan dalam berbagai tulisan John
Keynes, Churchil dan Dr Dalton. Dalton dalam sidang parlemen mengatakan bahwa
kita sudah memohon pinjaman tanpa bunga, tetapi kita diberi jawaban bahwa
pinjaman itu bukan politik praktis (Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah
:110-111)
c).
Sebahagian besar kaum dhu’afa mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Sedangkan pendapatan mereka sebagiannya diambil oleh pemilik modal
dalam bentuk bunga. Jutaan manusia di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar utang, sedang upah dan
gaji mereka umumnya sangat rendah. Denghan adanya pembayaran angsuran bunga
yang berat dan terus menerus menyebabkan daya beli kalangan mereka berkurang
dan akhirnya dapat menghancurkan pendidikan anak-anak mereka. Dengan demikian
pembayaran bunga yang memberatkan bukan hanya berdampak pada kehidupan pribadi,
tetapi juiga mengancam masa depan bangsa dan perekonomian.
d)..Pinjaman
modal umumnya diajukan oleh para pedagang atau para pengrajin kecil (home
industri) atau oleh para petani untuk tujuan memproduksi sawahnya. Namun
upaya mereka sering terhambat atau bahkan menjadi hancur disebabkan karena
penguasaan modal oleh para kapitalis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
pengusaha besar atau konglomerat yang dekat dengan sumber kekuasaan mengambil
jatah pengusaha kecil disamping membebani bunga yang lebih besar kepada
pengusaha kecil tersebut.Dengan demikian sistem bunga menjerat kaum dhu’afa
yang berdampak sangat luas, baik dalam sektor ekonomi maupun skuriti.
e).
Al-Razi mengatakan bahwa transaksi yang melibatkan bunga sama halnya dengan
merampas harta orang lain. Dalam hal ini transaksi satu rupiah ditukan dengan
dua rupiah, baik dalam bentuk tunai maupun kridit. Atau satu wasaq (takaran
Arab) ditukar dengan dua wasaq. Salah satu pihak menerima kelebihan tanpa
mengeluarkan apa-apa. Jenis transaksi ini merupakan tindakan sewenang-wenang
yang mengakibatkan peminjam berada dalam tekanan eksploitasi. Rasulullah SAW
secara tegas mengatakan bahwa harta seseorang diharamkan sama dengan darahnya (khutbah
al-wada’).
3. Beberapa Alasan Pembenaran Pengambilan Bunga
Ulama
kontemporer melakukan ijtihad untuk menemukan hukum pengambilan bunga dalam
transaksi utang piutang, khususnya yang dilakukan oleh bank konvensional
berhubung di lapangan pelaku bisnis menemui kesulitan untuk menghindar dari
sistem ekonomi yang dilarang tersebut. Sayangnya hasil ijtihad mereka tidak
menemui kata sepakat, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lagi tetap
mengharamkan. Ulama yang membolehkan pengambilan bunga dalam transaksi utang
piutang mengemukakan alasan pembenaran sebagai berikut :
a.
Alasan Retorika; mereka mengemukakan bahwa kata “riba” bukanlah
suatu kata yang secara eksplisit mencakup bunga bank, apa lagi lembaga bank
waktu itu belum ada. Dengan demikian bunga bank tidak termasuk riba yang tegas
dilarang oleh al-qur’an, melainkan termasuk perkara syubhat.
b.
Alasan logik; bahwa pengambilan bunga (riba) yang dilarang adalah
pengambilan bunga pada transaksi utang-piutang konsumtif (li al-istighlak)
bukan utang-piutang produktif (li al-istghlal/li al-intaj). Adapun
utang-piutang produktif seperti utang yang digunakan untuk membiayai sebuah
proyek atau untuk membuka sebuah usaha maka wajarlah apabila pihak yang
berpiutang turut mengambil keuntungan seperti halnya dalam serikat dagang (al-syirkah)
atau dalam perjanjian bagi hasil (aqad al-murabahah / aqad al-mudlarabah).
c.
Merujuk yurisprudensi; kelompok pembela pembenaran riba mengemukakan
bahwa ahli hukum Islam (fuqaha) telah sepakat membolehkan untuk
menentukan harga kridit lebih tinggi dari pada harga cash. Mereka merujuk pada
pendapat pemuka madzhab Hanafi bernama Ibnu Abidin yang mengatakan bahwa
menjual barang dengan harga kridit kemudian dibayar lunas (cash) dapat dipotong
harganya sesuai dengan jangka waktu pelunasan.
d.
Alasan jasa penggunaan/manfaat: kelompok ini mengenukakan bahwa
seseorang apabila mempunyai uang tentunya dapat digunakan untuk memenuhi
berbagai kepentingan hidupnya. Tetapi karena uang itu dipinjamkan kepada orang
lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak dapat ditutup dengan
dana cadangan pribadinya, maka uang yang seharusnya digunakan untuk dirinya
diberikan kepada orang lain tersebut. Dalam hal ini pemilik uang tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan uang tersebut karena
mementingkan kepentingan orang lain. Maka wajarlah apabila pemilik uang meminta
imbalan jasa berupa tambahan pada pengguna uang jika nanti membayar utangnya, seperti
pengambilan jasa pada sewa rumah atau nsewa barang lainnya (Al-Maududi, Al-Riba,
9)
e.
Alasan ekonomi: mereka mengemukakan bahwa nilai uang waktu terjadi
transaksi utang piutang dibandingkan dengan nilai uang waktu membayar sudah
berkurang karena jangka waktu yang lama, apalagi jika laju inflasi sangat
tinggi, maka nilai uang jelas berkurang. Oleh karena itu pengutan bunga adalah
wajar, karena untuk menutupi kekurangan nilai uang tersebut.
f.
Alasan dlarurat (emergrnsy); bahwa sistem ekonomi saat ini tidak
terlepas dari sistem perbankan, dan sistem perbankan tidak terlepas dari sistem
bunga (riba). Dengan demikian umat Islam terjebak ke dalam sistem
ekonomi tersebut dan tidak mungkin dapat mengelak dari padanya (dlarurat),
ibarat air laut sudah asin semuanya (umum al-balwa), tidak ada pilihan
lain kecuali menerima apa adanya (Abu Zahrah, Buhutsun fi al-riba, 59-63)
4. Fatwa
Ulama Kontemporer
Hampir semua
organisasi Islam baik di Indonesia maupun di luar negeri telah membahas masalah
riba. Oraganisasi-organisasi Islam itu umumnya memiliki lembaga ijtihad seperti
“Lajnah Bahtsul Masa’il” Nahdlatul Ulama dan “Majelis Tarjih” Muhammadiyah.
Berikut ini diturunkan beberapa keputusan hasil pembahasan mereka terhadap
bunga bank (Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : 88-94)
a)
Keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il
Lajnah
bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama telah membahas mengenai bunga bank konvensional
berkali-kali. Di antaranya di Bandar Lampung pada tahun 1982, hasilnya tidak
mencapai kata sepakat, bahkan membuka peluang untuk berspekulasi dengan
beberapa obsih : (1) bunga bank sama dengan riba secara mutlak maka hukumnya
haram, (2) bunga bank tidak sama dengan riba karena tidak disyaratkan pada
waktu akadnya maka hukumnya halal, (3) bunga bank hukumnya syubhat (belum jelas
halal dan haramnya) karena para fuqaha berselisih pendapat, (4) bunga konsumtif
hukumnya haram dan bunga produktif hukumnya halal, dan (5) bunga yang diperoleh
dari giro atau deposito hukumnya tidak haram.
b).Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis
Tarjih Muhammadiyah juga sudah berkali-kali membahas bunga bank tersebut, yaitu
tahun 1968 di Sidoarjo, tahun 1972 di Wiradesa Pekalongan, tahun 1976 di Garut
dan tahun 1989 di Malang. Di antara keputusannya (1) riba hukumnya haram dengan
nash al-qur’an dan al-sunnah, (2) bank dengan sistem riba hukumnya haram dan
bank tanpa riba hukumnya boleh, (3) bunga yang dibertikan oleh bank-bank milik
negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku termasuk
perkara musytabihat, dan (4) koperasi simpan pinjam hukumnya mubah karena
tambahan pada koperasi tidak termasuk riba, namun disarankan agar jumlah
tambahannya tidak melebihi laju inflasi.
c).
Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Sidang OKI
Desember 1970 di Karachi menyepakati bahwa praktek perbankan dengan sistem
bunganya tidak sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena itu perlu segera
mendirikan bank-bank alternatif yang beroperasi dengan prinsip-prinsip
syari’ah. Hasil kesepakatan inilah yang melatar belakangi berdirinya Bank
Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB)
d). Mufti Negara Mesir
Mufti
Negara Mesir selalu konsisten terhadap ketentuan hukum bunga bank
konvensionalsejak tahun 1900 hingga tahun 1989 bahwa bunga bank termasuk salah
satu bentuk riba yajg diharamkan oleh syari’at.
Mencermati
beberapa keputusan fatwa dari lembaga-lembaga dan organisasi Islam tersebut
menggambarkan betapa sulitnya umat Islam keluar dari jerat-jerat riba. Karena
mengingat dunia saat ini tak sejengkalpun tanah yang tak tersentuh riba, sanga
sulit rasanya untuk menghindar dari sistem ribawi tersbut. Cara yang paling
tepat adalah mendirikan bank-bank syari’ah yang non ribawi, atau secara
individu menekan berbagai keinginan duniawi menuju ke zuhud.
IV. BANK SYARI’AH SEBAGAI AL-TERNATIF
Sebenarnya
sudah cukup lama umat Islam menginginkan sistem perekonomian yang berbasis
nilai dan prinsip-prinsip syari’ah untuk dapat diterapkan dalam segenap
kehidupan bisnis dan transaksi. Keinginan ini didasari oleh kesadaran bahwa
mengamalkan Islam secara kaffah merupakan kewajiban yang melekat pada setiap
muslim. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh organisasi Islam baik di
Indonesia maupun di luar negeri untuk mendirikan lembaga-lembaga ekonomi yang
Islami tersebut. Di Indonesia lembaga itu baru terwujud pada tahun 1992, yaitu
dengan dibentuknya Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) di Jakarta. Kemudian muncul
bank-bank perkriditan rakyat (BPR-BPR) syari’ah di beberapa kota dan akhirnya
tumbuh dan berkembang bank-bank syari’ah milik negara seperti Bank Syari’ah Mandiri,
BNI Syari’ah, Bank Jabar Syari’ah dan BRI Syari’ah.
Dasar
pemikiran pengembangan bank syari’ah ialah untuk memberikan pelayanan jasa
perbankan kepada sebagian masyarakat yang tidak dapat dilayani oleh perbankan
konvensional karena bank tersebut menggunakan sistem bunga. Adalah merupakan
kenyataan bagi masyarakat muslim yang berkeyakinan bahwa kegiatan perbankan
yang menggunakan sistem bunga tidak sejalan dengan syari’at Islam sehingga
kebutuhan mereka tidak dapat dilayani oleh perbankan tersebut. Dengan demikian
munculnya bank-bank syari’at diharapkan dapat memobilisir dana dan potensi
ekonomi masyarakat yang optimal, disamping secara teologis menyelamatkan mereka
dari sikap mendua dalam penggunaan jasa bank, di satu sisi meyakini bahwa
bank-bank konvensional tidak sejalan dengan prinsip-prinsip syari’at, di sisi
lain sangat membutuhkan jasa bank terutama bagi pelaku bisnis untuk menyimpan
dan mentransfer uang yang aman dan terpercaya serta dapat mengambilnya kembali
dengan mudah, cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan. Maka kehadiran bank-bank
syari’ah di tengah-tengah masyarakat merupakan jalan keluar bagi sebagian
masyarakat yang tidak dapat dilayani dengan bank-bank konvensional.
Namun suatu
kendala yang dihadapi dalam perkembangan bank syari’ah di masyarakat sekitar
Cirebon adalah mengenai pemahaman anggota masyarakat terhadap kegiatan
operasional bank syari’ah yang masih sangat rendah. Meskipun banyak masyarakat
yang membutuhkan dan mendambakan bank yang beropoerasi berdasarkan
prinsip-prinsip syari’ah, tetapi kenyataannya mereka belum memahami mengenai
produk, mekanisme, sistem, dan seluk beluk bank syari’ah. Dalam hal ini para
ulama, muballighin dan pemimpin-pemimpin umat mempunyai peranan penting untuk
diajak kerja sama dengan pihak lembaga bank syari’ah dalam rangka
mensosialisasikan produk-produk yang ditawarkan sehingga masyarakat faham
dengan baik dan tertarik.
V..PENUTUP
Telah
lama umat Islam mendambakan kehadiran lembaga keuangan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syari’ah dalam rangka mengembangkan usaha dan bisnis. Kini
lembaga yang ditunggu-tunggu itu telah hadir, yaitu dengan dibentuknya Bank
Muamalat Indonesia dan bank-bank syari’ah. Oleh karena itu sayogyanya umat
Islam memberikan dukungan yang penuh kepada lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Kepada pihak lembaga diharapkan agar melakukan sosialisasi terus menerus untuk
memperkenalkan produk dan mekanisme bank-bank syari’ah kepada masyarakat
sehingga mereka mendapat informasi yang akurat, di samping harus mampu bersaing
dengan bank-bank konvensional yang memberikan pelayanan mudah, murah dan
terpercaya. Insya Allah bank-bank syari’ah memeiliki masa depan yang cerah,
karena kehadirannya memang sedang ditunggu-tunggu. Alallahi tawakkalna wa
ilaihil mashier. Billahit taufiq walhidayah wal ‘inayah, wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
No comments:
Post a Comment