SUNNAH DAN BID’AH
I. Pernyataan
Hadits
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أما بعد
فإن أ صدق الحديث كتاب الله وإن أفضل الهدىهدى محمد وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة
بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلا لة فىالنار. (رواه مسلم)
“ Rasulullah SAW. Bersabda: Amma
ba’du, sesungguhnya perkataan yang benar adalah Kitab Allah, dan sesungguhnya
petunjuk yang utama adalah petunjuk Nabi Muhammad, dan seburuk-buruk perkara
adalah yang diada-adakan dan tiap-tiap yang diadakan adalah bid’ah dan
tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tiap-tiap yang sesat (masuk) dalam neraka” (H.R.Muslim)
II. Pengertian
Menurut semantik “bid’ah”
artinya sesuatu yang baru (syai’un jadidun), kata kerjanya “ bada’a,
ibtada’a” artinya menciptakan sesuatu yang baru atau sesuatu yang belum
pernah ada sebelumnya. Misalnya seperti fiman Allah:
بد يع السموات والأرض
“Allah
yang menciptakan langit dan bumi” (QS.
Al-Baqarah 2: 117)
Adapun Bid’ah menurut syari’at sebagaimana dijelaskan
oleh Abu Syamah ialah “segala sesuatu yang belum ada dimasa Nabi, baik yang
beliau kerjakan atau yang beliau tetapkan atau yang deketahui dari
undang-undang syari’atnya” .
Dari keterangan
ini jelas bahwa yang dimaksud bid’ah menurut istilah syara’ meliputi aqidah dan
syari’ah serta bentuk-bentuk ritual yang belum pernah dilakukan atau ditetapkan
oleh Nabi SAW. semasa hidupnya. Contohnya seperti membatasi diri dengan
puasa dan berdiri terus menerus di
tempat yang panas tanpa berlindung atau berteduh, membatasi diri untuk tidak
makan sesuatu tanpa sebab, berzikir ramai-ramai, atau memandang kelahiran Nabi
sebagai Hari Raya, dan sebagainya.
III. Pembagian Bid’ah
Sebagian
Ahli Ushul Fuqh mengartikan bid’ah mencakup keseluruhan apa yang diada-adakan
dalam agama baik yang berkaitan dengan “ibadah” maupun yang berkaitan
dengan ‘adah (keduniawian), dan ada yang mengkhususkan pada masalah
ibadah saja. Golongan yang kedua ini menegaskan dengan kaidah:
لابدعة
فىالعادة
“tidak ada bid’ah dalam urusan adat (maslah keduniawian)”
Kebanyakan ahli fiqih memandang bahwa bid’ah mencakup
keseluruhan yang belum ada dimasa Rasul SAW. Mereka membagi bid’ah menjadi Bid’ah
Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela). Imam asy-Syafi’i
mengatakan:
“segala yang diada-adakan (al-muhdatsat) ada dua macam, pertama
apa yang diada-adakan itu menyalahi kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya atau atsar
shahabat atau ijma ulama, maka itulah bid’ah dhalalah, kedua apa yang diada-adakan
itu berupa kebaikan, tidak menyalahi ketentuan di atas, maka itulah bid’ah yang
tidak tercela”. Pendapat al-Syafi’i yang
demikian didukung oleh para penganutnya seperti Imam Abu Syamah, al-Asqalani
dan Izzudin Ibnu Abdis Salam, mereka mengatakan bahwa bid’ah itu ada bid’ah hasanah
dan ada bid’ah syayyi’ah. Bahkan Izzudin menegaskan bahwa bid’ah
itu terdiri dari beberapa katagori,
yaitu bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan
bid’ah mubahah. Mereka mengemukan contoh bid’ah wajibah seperti menghimpun dan
mencetak al-Qur’an, Bid’ah muharramah seperti mengikuti kepercayaan-kepercayaan
yang menyimpang, bid’ah mandubah (yang sunnah) seperti membangun gedung-gedung
madrasah dan jembatan untuk kepentingan umum, bid’ah makruhah seperti menghiasi
masjid dengan gambar-gambar yang mengganggu kekhusu’an shalat atau menggambar
di atas sajadah, baju yang digunakan untuk shalat dan sebagainya. Sedangkan
bid’ah Mubahah seperti berjabatan tangan sesudah shalat subuh dan ashar.
IV Sikap
Ulama yang Kontroversi
Imam as-Syatibi dalam al-I’tisham
menentang ada pembagian bid’ah seperti tersebut diatas. Beliau mengatakan bahwa
pembagian bid’ah yang demikian ini termasuk perkara bid’ah juga, karena tidak
ada dalil dari syari’at. Hakekat bid’ah adalah sesuatu ibadah yang tidak ada
petunjuknya dari syari’at, tidak ada nash dan tidak termasuk dalam
kaidah-kaidah- nya. Al-Syatibi dengan
para pendukungnya memandang bahwa bid’ah
itu hanya pada masalah-masalah ibadah saja. Mereka mengemukakan beberapa contoh
bid’ah seperti shalat Ragha’ib, yaitu shalat dua belas rakaat pada malam
jum’at pertama bulan Rajab, shalat nisfu sya’ban, ba’diyah subuh
dan ba’diyah ashar, azan dan iqamah untuk shalat ‘id dan
gerhana, adzan dan iqamah untuk mengubur mayat, dan lain-lain.
Sedangkan
ulama yang membahas bid’ah pada keseluruhan yang diada-adakan sesudah Rasul,
mempertahankan bid’ah dengan lima
katagori (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah) tersebut diatas dengan
mengemukakan kaidah:
كل مالايتم الواجب إلابه فهوواجب
“ Segala sesuatu yang menyempurnakan hal yang
wajib, maka wajib pula hukumnya ”
I.
Kesimpulan
Para ulama sepakat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu
yang dipandang sebagai agama padahal sesuatu itu bukan agama karena belum ada
dimasa Rasul baik yang dilakukan maupun yang ditetapkan. Selanjutnya meraka
berbeda pendapat mengenai cakupan bid’ah, sebagian mereka membatasi hanya pada
masalah ibadah (ritual) semata-mata, sedangkan yang lain tanpa memberi batasan
tersebut. Ulama yang membatasi bid’ah hanya pada masalah ibadah menegaskan
semua bid’ah adalah sesat (dhalalah) dan setiap yang sesat masuk neraka. Sedang
ulama yang memberi arti luas membagi bid’ah kedalam lima katagori: wajib, sunnah, haram, makruh
dan mubah.
VI. HIMBAUAN
Dalam
masalah ibadah hendaknya berpedoman pada petunjuk syari’at, karena ibadah
dasarnya “Melaksanakan perintah”,
maka seandainya tidak ada perintah, janganlah mengerjakan sesuatu atas nama
ibadah.
No comments:
Post a Comment