PERAN ULAMA,
SANTRI DAN PELAJAR ATAU MAHASISWA
DALAM MEMERANGI
FAHAM RADIKALISME
Batang, 26 Februari 2018
A. PENDAHULUAN
Agama Islam memberikan kebebasan kepada
pemeluknya untuk memahami dan menafsirkan ajaran-ajarannya secara luas, baik
terkait teologi dan hukum maupun terkait akhlak dan tasawuf. Sebagai akibatnya
muncul faham-faham dan aliran-aliran keagamaan yang beragam, mulai dari yang
paling jumud yang pemikirannya terbelenggu oleh teks hingga yang paling
liberal yang hampir melepaskan dan mengesankan penyimpangan dari dasar-dasar Islam.
Secara garis besar faham-faham keagamaan tersebut
dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan yang ingin mempertahankan
ajaran Islam persis seperti apa yang telah dipraktekan oleh Nabi SAW, golongan
ini disebut fundamentalisme. Sedangkan yang kedua ialah golongan yang
ingin menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat yang sudah berubah dan sudah
maju seperti zaman yang sedang berjalan sekarang, golongan ini sangat terbuka
merespon budaya dan kemajuan yang berkembang disebut liberalisme.
Dari kedua golongan tersebut selanjutnya
timbul paham-paham yang beragam hingga tak terbatas dan masing-masing paham
atau madzhab mengklaim bahwa hanya madzhabnya itu yang benar (‘ala hudan min
rabbihim) sementara madzhab lainnya menyimpang (‘ala dlalalatin),
sesat dan menyesatkan (dlallun mudlillun). Faham keagamaan yang demikian
disebut fanatisme atau ta’ashshub fie al-madzhab.
Fanatisme madzhab tersebut merupakan
penyebab konflik internal umat Islam, terutama dalam madzhab teologi seperti perselisihan
masa klasik antara Mu’tazilah dan Qadariyah dengan Jabariyah, Murji’ah,
Jahamiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Demikian pula perselisihan faham dalam madzhab
fiqh (syari’ah dan hukum) seperti terjadi dalam madzhab Ahlussunnah (Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah) dengan madzhab Syi’ah (Zaidiyah, Ja’fariyah)
dan Dhahiriyah. Dalam madzhab tasawuf terjadi konflik antara madzhab Ahlussunnah
(Al-Junaidi, Al-Ghazali) dengan madzhab hulul (Al-Halaj, Siti Jenar). Dan dalam
madzhab siyasah (politik) terjadi konflik antara madzhab Sunie dan madzhab Syi’ie.
Perselisihan madzhab siyasah (politik) berkembang lebih jauh ketika
diimplementasikan ke dalam politik praktis, maka konflik tersebut bukan hanya
antar golongan, syi’ie dan sunnie, tetapi menjalar antar kelompok, syi’ie dan syi’ie,
sunnie dan sunnie, karena masing-masing mereka mendirikan partai bukan untuk
memperjuangkan sebuah idiologi, tetapi untuk membela kepentingan kelompok.
Perselisihan paham antar penganut madzhab
saat ini sudah sampai pada tingkat persetruan yang membahayakan persatuan.
Kelompok fundamentalis membentuk berbagai organisasi keagamaan yang dijadikan
wadah perjuangannya. Mereka menuduh kelompok Islam liberal telah menyimpang
dari ajaran Islam yang sebenarnya, karena dianggap meragukan keabsahan sunnah
Nabi sebagai landasan hukum, bahkan menuduhnya telah membuang ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan ilmu-ilmu hadits warisan ulama salaf kedalam tong sampah untuk
kemudian menggantinya dengan bacaan kontemporer yang silsilah sanadnya berasal
dari Barat (baca : non Islam), berorientasi lebih menghargai pikiran pembaca (penafsir)
dari pada pemilik teks (Kalamullah/Al-Qur’an), tanpa dikaitkan dengan ilmu-ilmu
dan kaidah-kaidah tafsir yang telah dibangun oleh para ulama berabad-abad
lamanya.
Selain itu kelompok liberalis tidak
henti-hentinya berjuang untuk memperkokoh landasan demokratisasi dengan
menanamkan nilai-nilai kebebasan (liberalisme) dan nilai-nilai
kemanusiaan (humanisme) dengan tujuan agar Islam dapat diterima oleh
masyarakat global yang maju dan modern di era millenium sekarang. Gerakan
liberalisme dengan paradigma tersebut bertujuan untuk mencegah merebaknya
pandangan-pandangan keagamaan yang militan dan pro kekerasan yang sekarang
telah menguasai wacana publik sehingga tidak terjadi kekacauan di masyarakat.
B. AKAR KONFLIK
1. Agama Versus
Budaya
Umat beragama
meyakini bahwa agama adalah sakral karena datangnya dari Allah SWT dan disampaikan
kepada umat manusia melalui para Nabi dan Rasul yang ma’shum, terjaga
dari berbagai kepalsuan dan nafsu. Seorang ulama bermadzhab Syafi’ie, bernama Imam
Abu Syamah (w. 665 H)[1],
dalam kitab Al-Ba’its, seperti dikutip oleh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul
Hamid dalam Ilmu Ushul al-Bida, memberikan pandangan yang obyektif terkait
dengan agama yang sakral yang selalu bersentuhan dengan tradisi dan budaya yang
profane, sebagai berikut[2]
:
Tidak patut menentu-nentukan ibadah dengan
waktu yang tidak ditentukan oleh syariat, karena pada dasarnya melaksanakan
amal kebajikan tidak dibatasi dengan waktu-waktu tertentu dan tidak pula ada
keutamaan yang satu dari yang lainnya, terkecuali apa yang telah disebutkan
oleh syariat mengenai keutamaanya dan macam ibadahnya. Apabila suatu ibadah
telah ditentukan keutamaannya oleh syariat, maka keutamaan itu hanya berlaku
pada ibadah tersebut, tidak pada ibadah lainnya, seperti keutamaan puasa di
hari Arafah, hari Asyura dan keutamaan shalat tengah malam dan umrah di bulan
Ramadhan. Dan diantara waktu yang dipandang utama oleh syariat untuk melakukan
amal-amal kebajikan ialah seperti tanggal 10 Dzulhijjah dan malam al-qadar yang
disebutkan sebagai suatu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan.
Sedangkan budaya
dan adat atau tradisi masyarakat adalah profan, tidak sacral, termasuk persoalan-persoalan
duniawi, bukan persoalan ukhrawi, karena tradisi dan budaya merupakan produk
akal budi semata-mata, bukan produk wahyu, maka kedudukan hukumnya tergantung
pada relevansinya dengan manfaat dan/atau mafsadat yang ditimbulkan. Apabila
adat dan budaya dapat memberikan manfaat serta tidak bertentangan dengan
dalil-dalil syar’ie : Al-Qur’an, Al-Hadits, ijma’ dan qiyas, maka hukumnya
boleh (mubah). Sebaliknya, apabila adat dan budaya tersebut mengakibatkan
mafsadat (kemedaratan) atau bertentangan dengan dalil-dalil syar’ie, maka
hukumnya tidak boleh.
Sayogyanya kaum
muslim mengetahui secara mendalam tentang upacara ritual yang terkait dengan
adat dan budaya masyarakat Jawa sehingga mampu membedakan mana amalan-amalan
agama yang sakral dan mana amalan-amalan adat dan budaya yang profan.
Pengetahuan demikian menjadi sangat penting artinya terutama ketika suatu upacara
merupakan kontak agama dengan budaya lokal yang kemudian dianggap sebagai upacara
agama murni. Praktek ritual dalam tradisi masyarakat Islam Jawa banyak yang
tidak diketahui dengan pasti mana yang berasal dari agama dan mana yang berasal
dari budaya sehingga semuanya dianggap sebagai agama. Maka disinilah letak
konflik yang berkepanjangan, sebagian kaum muslim menganggapnya sebagai
perbuatan bida’ah, dan sebagian lainnya menganggap sebagai perbuatan sunnah.
Syekh Ahmad Rifa’ie, dalam hal-hal yang sacral, sangat tegas, tetapi dalam
hal-hal yang profane sangat toleran, mengakomodir budaya Jawa sebagai metode
penyampaian dakwahnya.
2.
Ayat-ayat
Damai Versus Ayat-Ayat Perang
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara lahir
menginstruksi kaum muslim agar berperang dan berjihad. Tetapi banyak juga
ayat-ayat yang menyuruh agar kaum muslim berlaku ramah dan lemah lembut terhadap
sesama, tanpa membeda-bedakan keturunan, adat istiadat dan agama. Diantara
ayat-ayat yang mengintruksi kaum muslim agar berperang antara lain :
1)
QS
At-Taubah, 9 : 123 :
Hai orang-orang yang beriman, perangilah
orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui
kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang
bertaqwa
2)
QS
Al-Anfal, 8 : 39 :
öNèdqè=ÏG»s%ur
4Ó®Lym
w
cqä3s?
×puZ÷GÏù
tbqà6tur
ß`Ïe$!$#
¼ã&#à2
¬!
4
ÂcÎ*sù
(#öqygtGR$#
cÎ*sù
©!$#
$yJÎ/
cqè=yJ÷èt
×ÅÁt/
Dan perangilah
mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah, jika
mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang
mereka kerjakan.
3)
QS
Al-Baqarah, 2 : 191 :
Dan bunuhlah
mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka
telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat
itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Ayat-ayat di atas
adalah ayat-ayat yang diturunkan dalam situasi perang, bukan diturunkan dalam
situasi damai. Ayat-ayat perang diturunkan bukan untuk memaksakan orang lain
agar memeluk suatu agama (لاإكراه فى الدين), melainkan untuk menegakkan keadilan dan
melawan kedzaliman (بأنهم ظلموا).
Ayat-ayat lain,
jumlahnya banyak sekali memerintahkan agar kaum muslim berlaku ramah terhadap
sesama, tanpa melihat latar belakang keturunan, agama dan kepercayaan, antara
lain :
1)
QS
Al-Anbiya, 21 : 107)
Dan tiadaklah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
2)
QS
Al-Ahzab, 33 : 45-46 :
Hai Nabi,
sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya
dan untuk jadi cahaya yang menerangi.
3)
QS
Ali Imran, 3 : 159 :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu*. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
Golongan
garis keras (kaum fundamentalis) merespon ayat-ayat perang di atas sebagai
landasan untuk mengeksekusi setiap orang atau golongan yang dianggap telah
menyimpang dari ajaran Islam, kafir, musyrik dan ahli bid’ah. Sementara
ayat-ayat damai direspon oleh aliran liberal-humanis untuk menaburkan kasih
sayang kepada seluruh umat manusia, tanpa membeda-bedakan akidah dan
keprcayaan, baik dalam upacara-upacara seremonial maupun dalam upacara-upacara ritual.
Misalnya melegalkan atau memboleh Al-Qur’an dilagukan dengan lagu-lagu Jawa, doa-doa
sa’ie diganti dengan pengucapan teks Pancasila, atau dengan lagu-lagu perjuangan,
membolehkan natal bersama, atau mencampur adukan adzan dengan lagu-lagu natal,
dan sebgainya.
Kedua kelompok tersebut tampak tidak proporsional, menerapkan ayat-ayat
perang dan ayat-ayat damai tidak pada tempatnya, satu pihak merespon teks tanpa
mempertibangkan konteks, sedangkan yang lain hanya mengutamakan konteks
semata-mata, sehingga sulit untuk dipertemukan. Seminar, diskusi dan sebagainya
sudah sering dilakukan, tetapi belum berhasil merubah sikap dan pandangan masing-masing,
masih tidak menemui titik temu, bahkan masing-masing berupaya untuk memperkokoh.
3.
Secular
Versus Fondamentalis
Konflik
internal umat Islam yang paling serius adalah karena para pemimpinnya tidak
kompak dalam memahami agama dan merespon budaya dan peradaban Barat (non muslim)
seperti telah disinggung di atas. Sebagai contoh dapat dikemukakan
ketidakompakan mereka dalam merespon demokrasi dan sekularisme. Sayid Quthub,
Al-Maududi dan kaum fundamentalis menolak mentah-mentah faham sekuler yang
memisahkan antara agama dan negara. Sedangkan Ali Abdur Razik dan kaum
nasionalis memperjuangkannya dengan segala daya dan upaya agar kehidupan
beragama tidak dibawa ke ranah kehidupan bernegara. Ketidakompakan ini
mengakibatkan konflik internal yang pada gilirannya melemahkan dakwah dan
perjuangan Islam sendiri, karena satu kubu memperjuangkan Islam sesuai dengan
fahamnya itu sedangkan yang lain menjegalnya.
Ide
dasar faham sekularisme adalah memisahkan agama dari negara dan pemerintahan.
Faham sekuler muncul sebagai anti tesis dari pemerintahan Gereja yang diktator
dan semena-mena (dzalim). Kemudian timbul gerakan reformis yang berhasil
menggusur kekuasaan negara dari tangan Gereja sehingga gereja hanya diberi
porsi untuk mengurus soal-soal kebaktian dan penebusan dosa. Di negara-negara
Barat setelah kaum reformis berhasil memisahkan agama dan negara ternyata cepat
maju dan mampu memimpin peradaban dunia yang akhirnya menjajah wilayah-wilayah
Timur (Islam) yang dahulu maju dan menjajah Barat (Kristen).
Para
ilmuwan, termasuk ilmuwan muslim yang berpendidikan Barat, menyimpulkan bahwa
agama adalah penghambat kemajuan sehingga harus dipisahkan dari negara (faham sekuler).
Persetruan faham ini berimplikasi pada prilaku politik umat Islam di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sebagian mereka membentuk partai-partai
Islam dan sebagian lagi hanya menginginkan partai bercorak Islam, bahkan ada
yang tidak peduli apakah itu partai Islam, atau partai bercorak Islam, atau partai
tidak berlatar belakang Islam sama sekali, yang penting berjuang untuk rakyat.
C. GERAKAN TENGAH : ANTI RADIKALISME
DAN ANTI SEKULAR
Untuk mengatasi gerakan ekstrim tersebut, lahirlah
gerakan Islam tengah, atau Islam Wasathiyah (MUI), Islam Nusantara (NU), Islam
Berperadaban (Muhammadiyah), dan Islam Lugas Bermartabat (Rifa’iyah). Gerakan-gerakan
ini memiliki visi yang sama, Islam Wasathiyah adalah Islam yang mengambil jalan
tengah, la syarqiyyata wa la gharbiyyah. Islam Nusantara adalah Islam
yang sangat toleran, rahmatan lil alamin, dan Islam Berkemajuan adalah
Islam yang berperadaban, Islam yang memandu ilmu dan memimpin kemajuan. Sementara
Islam Lugas Bermatabat adalah Islam yang lugu dan mulia, ajarannya sederhana
tetapi lengkap, mencakup semua aspek kehidupan, mudah diterima, ramah dan mudah
diamalkan, anti kekerasan dan anti pemaksaan.
Semua gerakan tersebut ingin menampilkan Islam sebagai
agama yang ramah, santun, toleran, menghormati sesama, tetapi tidak
mengorbankan hal-hal yang prinsip dan fundamental. Dan sekaligus
ingin memberikan jawaban atas berkembangnya faham-faham dan gerakan ektrim, eksklusif,
intoleran, kaku atau rigid, mudah mengkafir-kafirkan dan memusyrik-musyrikan
orang. Faham-faham demikian berpotensi munculnya Islam radikal dan terorisme yang
menghalalkan darah dan perampasan harta serta melegalkan pembunuhan dan
perampokan.
D. P E N U T U P
Untuk menghindari konflik
yang diakibatkan oleh faham yang ekstrim tersebut, alangkah indahnya apabila
kaum terpelajar, siswa, mahasiswa, dosen, santri, kyai, dan pemimpin umat, untuk
duduk bersama, bersilaturahim dan berdialog untuk membedah masalah-masalah
kontroversial dengan tujuan untuk membangun ukhuwah yang lebih kokoh, atau
sekurang-kurangnya membangun toleransi antar sesama penganut faham atau aliran
atau madzhab.
Sudah
saatnya para penganut agama atau madzhab merubah paradigma dari paradigma lama
yang memandang hanya madzhabnya yang benar, sementara madzhab yang lain salah,
dirubah menjadi paradigma baru, yaitu : madzhabku benar, tetapi mungkin salah,
sementara madzhab lain salah, tetapi mungkin benar. Dengan demikian dapat
membangun rasa persaudaraan yang kokoh, tidak saling menyalahkan, apalagi
saling menyesatkan atau mengkafirkan.
Batang, 26 Februari 2018
PP
RIFA’IYAH
[1]
Abu
Syamah adalah gurunya Imam An-Nawawi, nama lengkapnya Syihabuddin Abdurrahman
Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim al-Maqdisi Al-Dimasyqi. Lahir tahun 579H dan wafat
tahun 665H. beliau adalah seorang alim allamah, menguasai berbagai disiplin
ilmu. Menurut sebagian ulama beliau telah mencapai derajat Mujtahid, diantara
gurunya ialah Al-Izz Ibnu Abdissalam. Lihat Muhammad Ibnu Yasin Ibnu Isa
Al-Fadani al-Maki dalam Al-Fafa’id al-Janiyah (Bairut, Dar al-Basya’ir
al-Islamiyah, 1996), jld.2, hlm. 46
[2] Ali
Ibnu Hasan Ibnu Ali Ibnu Abdul Hamid, Ilmu Ushul al-Bida’ (Riyadh, Dar
al-Rayah, 1992), hlm. 89
No comments:
Post a Comment