PEMIKIRAN SYEKH
AHMAD RIFA’I
Oleh
: Prof. Dr. Abdul Djamil, MA
Disertai ini merupakan rekonstruksi
sejarah intelektual dan sejarah social dari tokoh gerakan Rifa’iyah yaitu KH.
Ahmad Rifa’i menyangkut pemikiran dan Gerakan Islamnya. Apa yang dimaksud
dengan sejarah intelektual adalah rekonstruksi pemikiran Islam Kiai Rifa’I
sebagaimana dituangkan dalam tulisannya yang berjumlah enam puluh Sembilan,
terdiri dari tiga ilmu keislaman yaitu Usul,
fikih dan Tasawuf. Adapun yang dimaksud
sejarah sosial dalam tulisan ini adalah rekonstruksi gerakan Islam kiai Rifa’i
menyangkut dinamikanya ditengah-tengah gerakan sosial keagamaan pada abad sembilan
belas. Dengan rekonstruksi tersebut akan diketahui tipologi gerakan yang
memiliki karakter tersendiri dibanding dengan gerakan lainnya.
Dalam melakukan rekonstruksi
tersebut, dipergunakan pertimbangan sosiologis sehingga tampak pemikiran maupun
gerakan Islamnya merupakan jawaban terhadap suasana Kalisalak pada abad
sembilan belas. Inilah yang membedakannya dengan tradisi pemikiran dan gerakan
Islam di Jawa pada waktu itu yang secata rinci dapat dijelaskan sebagai berikut
:
1.
Dilihatdari segi hubungan ajaran
agama dengan dimensi ruang dan waktu, pemikiran Rifa’I relevan dengan
masyarakat Islam abad Sembilan belas, khususnya pendalaman Jawa Tengah. Ajaran
mengenaisosok (‘Alim ‘Adil) adalah
refleksi dari kritiknya terhadap tokoh-tokoh agama yang mau bekerjasama dengan
penguasa asing (Belanda). Pandangannya mengenai rukun Islam satu dapat dipandang
sebagai upaya untuk memberikan legitimasi bagi orang-orang Islam di wilayah
pedesaan yang karena suatu alas an tidak dapat menjalankan kewajiban Islam
lainnya seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Dengan pandangan ini orang-orang
tersebut masih berstatus sebagai orang Islam yang memiliki banyak harapan.
Demikian
pula pandangannya mengenai pernikahan yang mengesankan adanya keharusan untuk
diulang (tajdid Al-nikah) mencerminkan kritiknya kepada pejabat agama yang
dinilainya tidak memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai petugas nikah
seperti saksi karena mereka ini dianggap tidak memenuhi syarat. Salah satu
diantaranya adalah harus mursyid,
yakni orang yang tidak melakukan tindakan fasik. Sedangkan saksi nikah harus
memenuhi enam belas syarat, dua diantaranya tidak cacat marwat dan tidak ifasiq.
Dari
penjelasan tentang persyaratan saksi nikah di atas, sebenarnya tidak ada
perbedaan mendasar antara pandangan Rifa’I dengan kitab-kitab fikih di dunia
pesantren, hanya saja dalam penerapannya, ia terlihat menekankan pada aspek
yang relevan dengan suasana keagamaan di tengah-tengah kekuasaan Belanda pada
abad Sembilan belas.
Karena
sedemikian banyaknya penjelasanmengenai hubungan antara ajaran agama dengan
persoalan yang timbul pada waktu itu, maka pemikiran keagamaan Rifa’I terlihat
sedemikian rinci mengupas berbagai masalah masyarakat yang timbul. Akibat dari
tipe kupasan yang demikian ini berakibat kurang memberikan ruang gerak bagi pengikutnya untuk melakukan inovasi
dalam memahami agama sejalan dengan tuntutan keadaan yang selalu berkembang. Kondisi
ini didukung oleh kenyataan bahwa mayoritas pengikut Rifa’iyah hidup dalam
lingkungan kebudayaan pedesaan sehingga tidak dapat mengikuti irama
perkembangan permasalahan sosial keagamaan kontemporer.
2.
Dilihat dari hubungannya dengan
kelompok-kelompok keagamaan lain, pemikiran program kiai Rifa’i memiliki
semangat yang esklusif ia terlihat berusaha menciptakan isolasi secara cultural
dengan kebudayaan penguasa. Akan tetapi unsure yang seharusnya dilihat dalam
kerangka ruang dan waktu penjajahan Belanda ini, ternyata berlanjut hingga
pasca kemerdekaan dan bahkan hingga sekarang. Kesan inilah yang menjadikannya
sebagai aliran keagamaan yang disana sini masih saja menghadapi hambatan mulai
dari legalisasi pemerintah sampai dengan hubungannya dengan masyarakat luas
diluar Rifa’iyah.
3.
Dilihat dari segi faham
keagamaan, pemikiran Rifa’I merupakan tipe sinkronisasi antara aqidah, syari’a
dan tasawuf. Pemikirannya dapat dipandang sebagai tipe palinf awal dalam merumuskan
pengertian Ahlussunnah waljama’ah dalam konteks Jawa yang pada intinya mengikuti
pandangan ulama kepercayaan (taqlid)
pada tiga bidang yaitu Usul, Fikih dan Tasawuf.
Cara taqlid
yang dikembangkan kiai Rifa’I merupakan cermin dari upaya konstektualisasi
pemahaman agama sesuai dengan tingkat kemampuan masyarakat dalam menggali
ajaran dari sumber pokoknya (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia sadar bahwa
masyarakat Islam dalam konteks Kalisalak dan sekitarnya pada pertengahan abad
Sembilan belas, tidak mungkin diajak untuk berijtihad yang menuntut berbagai
persyaratan, khususnya penguasaan ilmu-ilmu yang diperlukan untuk melakukan
ijtihad seperti Bahasa Arab, ilmu tentang Al-Qur’an, ilmu tentang Al-Sunnah pengetahuan tentang posisi Ijma’, pengetahuan
tentang Qiyas, pengetahuan tentang tujuan hokum, bersihnya niat dan I’tiqadnya.
4.
Dilihat dari segi hubungan antara
norma dan kenyataan sosial, pemikiran kiai Rifa’I bercorak induktif dalam arti
berangkat dari fenomena di lapangan yang sedemikian majemuk, kemudian dicari
referensinya dari Al-Qur’an, Al-Hadis dan pandangan ulama. Karena tipe
pemikiran semacam inilah yang mengesankan kiai Rifa’I sebagai sosok ulama yang
terlihat banyak mencampuri urusan di luar ibadah mahdah.
Dibanding dengan tokoh sejamannya
seperti Nawawi al-Bantani, atau tokoh sebelumnya seperti Arsyad al-Banjari,
Rifa’i lebih memperlihatkan tipe tersendiri dalam pemikirannya. Pemikiran
Nawawi al-Bantani yang lebih banyak tinggal di Mekkah hingga wafatnya bercorak
deduktif berpijak dari rumusan ajaran agama dari ulama Ahlussunnah. Akibatnya
kurang memiliki kepedulian terhadap suasana umat Islam di bawah kekuasaan
penjajah. Seperti halnya Nawawi, Arsyad al-Banjari juga memiliki corak serupa
jika dilihat beberapa kitab tulisannya.
Dengan tipe
seperti ini maka pemikiran Nawawi dalam berbagai kitab yan ditulis memiliki
ketahanan cukup lama tidak menimbulkan kontroversi. Kitab-kitab masih banyak
dibaca oleh kalangan pesantren di Indonesia. Keadaan yang sama juga dialami
oleh Syeh Arsyad al-Banjari yang hingga sekaran tulisannya masih dibaca orang,
khususnya diwilayah Kalimantan Selatan. Sebaliknya pemikiran Rifa’i yang
tipenya induktif kurang dapat memiliki elastisitas untuk masa-masa yang akan
dating, sekalipun pada waktu itu benar-benar memberi kemudahan bagi umat Islam
dalam konteks lokal abad Sembilan belas.
Dilihat dalam konteks aneka ragam
derakan yang terjadi pada paruh pertama dari abad Sembilan belas, gerakan KH.
Ahmad Rifa’i dapat digolongkan kedalam gerakan keagamaan dengan corak
tradisional yang memiliki implikasi sosial (Religio-Tradisional
Movement).
Ciri-ciri
utamanya memiliki elemen-elemen seperti loyalitas lokal (local Loyalti), hubungan kekerabatan (kin solidarity) dan hubungan-hubungan berdasarkan status
tradisional (traditional status relations). Elemen pertama terlihat pada
kuatnya keterikatan anggota gerakan kepada tokoh sentral (KH. Ahmad Rifa’i).
anggota gerakan malihat sosok Rifa’i guru dengan berbagai macam kelebihan mulai
dari kedalaman ilmu agama sampai dengan charisma yang bertumpu pada keluar
Biasaan sebagai kekasih Tuhan (Wali) . Sedemikian kuatnya ketertarikan tersebut
sehingga loyalitas oengikut terhadap ajaran Rifa’I bertahan cukup lama (Hingga
Sekarang) meskipun sering di anggap sebagai gerakan pengacau oleh berbagai
kalangan . Namun demikian, hal ini menimbulkan implikasi lain yaitu kesulitan
anggota gerakan untuk menyesuaikan dengan dinamika masyarakat, khususnya dalam
penerapan ajaran Islam di tengah – tengah masyarakan modern.
Hubungan kekerabatan juga menjadi
elemen penting dari tipe gerakan Rifa’iyah yang terlihat semenjak Rifa’i
membangun komonitas santri di kalisalak . Komonitas yang dibentuk melalui
pengajaran Islam dengan kitab Tarajumah ini memiliki ikatan social yang kuat
sehingga me4ngkhawatirkan pemerintah colonial di satu pihak dan birokrat
tradisioanl di lain pihak . Fanatisme hubungan antar sesame anggota seringkali
melampaui batas – batas hubungan darah sehingga warga Rifa’iyyah yang satu
merupakan saubara bagi yang lain.
Hubungan
antar anggota berdasarkan status tradisional , terlihat pada adanya hierarki
pada kominitas Rifa’iyyah , di mana kiai Rifa’iyyah menduduki posisi tertinggi.
Hal ini terlihat pada cara mereka melakukan dakwah Islam, pelaksanaan salat
Jum’at pengulangan perkaawinan dan anggota bilangan jum’at. Semuanya
memperlihatkan apresiasi yang sedemikian tinggi kepada kiai atas dasar ajaran
Rifa’I mengenai figure ‘Alim ’Adil
Implikasi yang muncul dari tipe
gerakan keagamaan yang demikian ini adalah adanya hambatan dalam berkomonikasi
secara luas dengan masyarakat Islam lainya
di luar Rifa’iyyah. Otoritas Rifa’I yang sedemikian kuat dalam
mengemukakan pendangan agama menjadikan murid – muridnya tidak dapat berfikir
secara alternative . Inilah yang kemudian menjadikanya sebagai gerakan ekslusif yang sering menghadapi
persoalan. Situasi ini digambarkan oleh laporan berbagai pihak kepada penguasa
colonial yang menganggapnya sebagai pembawa ajaran islam sesat dan menyalahkan
orang islam lain yang tidak masuk dalam
kelompoknya. Jika pemerintah melihat fenomena gerkan Rifa’I sebagai bahaya
laten yang sewaktu – waktu dapat mengorbankan
semangat anti pemerintah , maka kalangan birokrat jawa (Priyai) menempatkanya sebagai sosok kiai
yang perlu di wasadi karena ajaranya yang cenderung menyalahkan orang Islam
lainya.
Selain itu, pemikiran modern tidak
dapat berkembang sejalan engan tuntutan zaman karena keterpakuan kepada
loyalitas local tanpa memiliki pelung untuk melakukan inovasi pemikiran. Namun
demikian sebagai gerakan yang selalu dihadapkan pada berbagai tuduhan negative,
ia memiliki kemandirian dalam konsolidasi yang dibuktikan pada sejumlah
pertemuan dasar yang merekaselenggarakan dan penghimpunan dana untuk mencapai
tujuan organisasi.
Tipologi gerakan keagamaan yang
bersifat tradisional tersebut pada dasarnya merupakan gerakan budaya yang
bertujuan menciptakan isolasi cultural dengan kekuasan atau protes secara diam
(silent protest). Geraan seperti ini merupakan konsekuensi logis dari ketidakberdayakan menghadapi kekuasaan secara
terbuka atau merupakan alternative lain dalam bentuk mobilisasi bawah tanah
melalui kekuatan ajaran Agama, charisma tokoh dan solidaritas anggota
sebagaimana diperlihatkan oleh grakan Rifa’iyah.
No comments:
Post a Comment