DOKTRIN
MAQASHID AL-SYARI’AH & TEORI HUKUM AL-MASHLAHAH
PENGERTIAN & HUBUNGANNYA DENGAN METODE PENGAMBILAN HUKUM
KONTEKSTUAL
2010
Oleh : Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Aghttps://drive.google.com/file/d/1ucYevTOPm0pV3o84r2hQCosULlNBmEy-/view?usp=sharing
I.
PENDAHULUAN
Secara
keseluruhan Hukum Islam (al-fiqh) memproyeksikan Maqashid al-Syari’ah,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Implementasi maqashid
al-syari’ah dituangkan dalam kajian fiqh disusun secara sistematis. Pakar Hukum
Islam (Fuqaha) ada yang membaginya menjadi dua bagian besar, yaitu
bagian ibadat dan bagian muamalat; ada pula yang membaginya menjadi tiga bagian
: bagian ibadat, bagian muamalat dan bagian uqubat;[1] dan ada yang membaginya menjadi empat
bagian : bagian ibadat, munakahat, muamalat dan jinayat.[2] Seorang ulama kontemporer Musthofa Ahmad
al-Zarqa membagi materi fiqh menjadi tujuh bagian, yaitu bagian ibadat, bagian
al-akhwal al-syakhshiyah, al-mu’amalat, al-siyasah al-syar’iyah, al-uqubat, al-
huquq al-dauliyah dan bidang Adab[3].
Terlepas dari
perbedaan pandangan dalam pengelompokan rumpun hukum kedalam bagian-bagian yang
lebih luas atau sempit, namun jika dihubungkan dengan konsep Maqashid
al-Syari’ah, maka masing-masing bagian tersebut mempunyai hubungan langsung
dengan aspek-aspek yang dipertahankan oleh Maqashid al-Syari’ah. Seperti
bahagian ibadat dan jihad bertujuan untuk mempertahankan eksistensi agama; bab
nafakah, hadhanah dan hukuman qisas-diyat bertujuan untuk memelihara jiwa;
hukuman cambuk bagi orang yang mengkonsumsi miras bertujuan untuk memelihara
akal; hukuman potong tangan bagi pencuri dan hukuman mati atau pengasingan bagi
para perampok bertujuan untuk memelihara harta; dan hukuman cambuk atau rajam
bagi pelaku zina bertujuan untuk memelihara keturunan.
Para ulama ahli ushul selalu berpedoman pada
doktrin maqashid al-syari’ah dalam membangun teori al-mashlahah.
Istilah al-mashlahah dikemukakan oleh para ulama ahli ushul dalam
membahas metode penemuan hukum berdasarkan dalil-dalil syar’ie (ijtihad),
terutama dalam mencari penyelesaian kasus yang secara eksplisit atau secara
implisit tidak terakomodir oleh nash dan berusaha untuk mendapatkan pengakuan
dari nash (istidlal)[4]. Para ulama terkemuka telah mengadakan pengkajian mendalam
terhadap tujuan-tujuan syari’at dalam rangka membangun teori al-maslahat.
Seorang ulama terkemuka, Imam Al-Syathibie mengemukakan bahwa berdasarkan hasil
penelitian kami, hukum Islam itu ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia. Hasil temuan yang demikian ini tidak dapat dibantah oleh siapapun,
termasuk oleh al-Razie[5]
dan lain-lainnya. Al-Syathibie dalam rangka mempertahankan pendapatnya itu
mengemukakan argumen teologis dan mengangkat ayat-ayat al-Qur’an tentang
penciptaan alam, tentang pengangkatan para Rasul dan penetapan hukum-hukum yang
dibebankan kepada umat manusia semuanya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
hidup baik di dunia maupun di akhirat.[6] Ulama terkemuka yang sejalan dengan pikiran
al-Syathibie ialah Al-Izz Ibnu Abd al-Salam (penganut al-Syafi’ie) dan Ibnu
Qayim al-Jauziyah (penganut mazhab Hanbalie). Al-Izz mengatakan bahwa hukum
Islam secara keseluruhan mewujudkan kemaslahatan. Adapun mengenai bentuknya
adakalanya berupa larangan agar terhindar dari kerusakan dan adakalanya berupa
perintah agar memperoleh kemanfaatan.[7]
Dan Ibnu Qayim mengatakan bahwa hukum Islam baik struktur maupun asas-asasnya
merupakan hukum yang mencerminkan kemaslahatan umat manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Hukum itu adil seluruhnya, rahmat seluruhnya, maslahat
seluruhnya dan penuh makna seluruhnya. Dengan demikian, apabila ada persoalan
hukum berubah dari keadilan menjadi kezaliman, atau dari rahmat mejadi yang
sebaliknya, atau dari maslahat menjadi mafsadat, atau dari yang penuh makna
menjadi sia-sia, maka persoalan hukum tersebut jelas bukan hukum Islam walaupun
diperoleh dari hasil penafsiran.[8]
Namun demikian
penetapan hukum berdasarkan teori al-maslahah masih menimbulkan kontroversi di
kalangan ulama. Sebagian mereka menolak secara tegas dan mengatakan bahwasanya
tidak ada kemaslahatan kecuali apa yang telah disebutkan di dalam nash.
Sebagian lagi berpegang teguh pada teori al-maslahat dan memposisikannya
sebagai dalil yang harus didahulukan dari pada nash, kecuali dalam wilayah
ibadat dan muqaddarat. Menurut kelompok ini, hukum Islam itu (al-syari’at)
kadang-kadang tidak menjelaskan kemaslahatan. Maka apabila lahir nash
bertentangan dengan kemaslahatan, haruslah mendahulukan kemaslahatan itu dari
pada nash. Sedangkan sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa teori al-maslahat
digunakan apabila tidak ada nash. Kelompok ini mengatakan : banyaklah praksis-praksis
di masyarakat yang belum terakomodir dalam nash (al-maskut ‘anhu).
Contohnya seperti mengatur ketertiban kota,
ketertiban masyarakat, ketertiban ekonomi dan lain-lainnya semuanya belum
terakomodir dalam nash sehingga masyarakat melalui para pemimpin dan
cendekiawan yang bertanggung jawab berpeluang untuk mencari mana yang maslahat
bagi kehidupan mereka. Karena kemaslahatan suatu bangsa pada suatu masa mungkin
saja berbeda dan bahkan berubah dengan kemaslahatan suatu bangsa pada suatu
masa yang lain[9].
Makalah ini menyajikan doktrin maqashid al-syari’ah yang dihubungkan
dengan teori al-mashlahah dan beberapa permasalahannya.
[1]
Lihat Ibnu Abidin dalam kitabnya Radd al-Mukhtar membagi isi fiqih
kedalam tiga bagian tersebut
[3]
Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Makhal ila
al-Fiqh al-‘Am,
(Damascus, Dar al-Fikr, 1968),
jilid I, hal. 55-56
[4] Al-Syaukanie, Muhammad bin
Ali, Irsyad al-Fukhul (Bairut, Dar al-Fikr, Tt.), hal. 241-241
[5] Al-Razie adalah seorang
penganut Asy’arie, beliau berpendapat bahwa hukum-hukum Allah itu sebagaimana
perbuatan-Nya, tidak harus beralasan itu dan ini (al-mu’allalah), karena
hal itu mengesenkan terbatasnya kekuasaan Tuhan yang absolut.
[6] Al-Syathibie, Abu Ishaq,
Ibrahim bin Musa, al-Muwafaqat fie
Ushul al-Syari’ah (Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Tt.), jilid 1, juz 2,
hal. 4
[7] Abdullah al-Asyqar, Umar
Sulaiman, Nadzarat fie Ushul al-Fiqh (Yordan, Dar al-Nafa’is, 1999),
hal. 223
[8] Ibnu Qayimal-Jauziyah, A’lam
al-Muwaqi’ien ‘an Rabb all-Alamien (Bairut,
Dar al-Jail, Tt.), juz 3, hal. 3
[9] Abdullah al-Asyqar, Nadzarat
fie Ushul al-Fiqh, hal. 235-239
https://drive.google.com/file/d/1ucYevTOPm0pV3o84r2hQCosULlNBmEy-/view?usp=sharing
No comments:
Post a Comment