Sunday, September 8, 2002

SUNNAH DAN BID’AH



SUNNAH DAN BID’AH

I.       Pernyataan Hadits
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أما بعد فإن أ صدق الحديث كتاب الله وإن أفضل الهدىهدى محمد وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلا لة فىالنار. (رواه مسلم)  

“ Rasulullah SAW. Bersabda: Amma ba’du, sesungguhnya perkataan yang benar adalah Kitab Allah, dan sesungguhnya petunjuk yang utama adalah petunjuk Nabi Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan tiap-tiap yang diadakan adalah bid’ah dan tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tiap-tiap yang sesat (masuk) dalam neraka” (H.R.Muslim)

II.   Pengertian

Menurut semantik “bid’ah” artinya sesuatu yang baru (syai’un jadidun), kata kerjanya “ bada’a, ibtada’a” artinya menciptakan sesuatu yang baru atau sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Misalnya seperti fiman Allah:
بد يع السموات والأرض

“Allah yang menciptakan langit dan bumi”   (QS. Al-Baqarah 2: 117)

Adapun Bid’ah menurut syari’at sebagaimana dijelaskan oleh Abu Syamah ialah “segala sesuatu yang belum ada dimasa Nabi, baik yang beliau kerjakan atau yang beliau tetapkan atau yang deketahui dari undang-undang  syari’atnya” .
  Dari keterangan ini jelas bahwa yang dimaksud bid’ah menurut istilah syara’ meliputi aqidah dan syari’ah serta bentuk-bentuk ritual yang belum pernah dilakukan atau ditetapkan oleh Nabi SAW. semasa hidupnya. Contohnya seperti membatasi diri dengan puasa  dan berdiri terus menerus di tempat yang panas tanpa berlindung atau berteduh, membatasi diri untuk tidak makan sesuatu tanpa sebab, berzikir ramai-ramai, atau memandang kelahiran Nabi sebagai Hari Raya, dan sebagainya.

III.  Pembagian Bid’ah
Sebagian Ahli Ushul Fuqh mengartikan bid’ah mencakup keseluruhan apa yang diada-adakan dalam agama baik yang berkaitan dengan “ibadah” maupun yang berkaitan dengan ‘adah (keduniawian), dan ada yang mengkhususkan pada masalah ibadah saja. Golongan yang kedua ini menegaskan dengan kaidah:
لابدعة فىالعادة
“tidak ada bid’ah dalam urusan adat (maslah keduniawian)”

Kebanyakan ahli fiqih memandang bahwa bid’ah mencakup keseluruhan yang belum ada dimasa Rasul SAW. Mereka membagi bid’ah menjadi Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela). Imam asy-Syafi’i mengatakan:
“segala yang diada-adakan   (al-muhdatsat) ada dua macam, pertama apa yang diada-adakan itu menyalahi kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya atau atsar shahabat atau ijma ulama, maka itulah bid’ah dhalalah, kedua apa yang diada-adakan itu berupa kebaikan, tidak menyalahi ketentuan di atas, maka itulah bid’ah yang tidak tercela”. Pendapat al-Syafi’i yang demikian didukung oleh para penganutnya seperti Imam Abu Syamah, al-Asqalani dan Izzudin Ibnu Abdis Salam, mereka mengatakan bahwa bid’ah itu ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah syayyi’ah. Bahkan Izzudin menegaskan bahwa bid’ah itu  terdiri dari beberapa katagori, yaitu bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Mereka mengemukan contoh bid’ah wajibah seperti menghimpun dan mencetak al-Qur’an, Bid’ah muharramah seperti mengikuti kepercayaan-kepercayaan yang menyimpang, bid’ah mandubah (yang sunnah) seperti membangun gedung-gedung madrasah dan jembatan untuk kepentingan umum, bid’ah makruhah seperti menghiasi masjid dengan gambar-gambar yang mengganggu kekhusu’an shalat atau menggambar di atas sajadah, baju yang digunakan untuk shalat dan sebagainya. Sedangkan bid’ah Mubahah seperti berjabatan tangan sesudah shalat subuh dan ashar.


IV   Sikap Ulama yang Kontroversi
       Imam as-Syatibi dalam al-I’tisham menentang ada pembagian bid’ah seperti tersebut diatas. Beliau mengatakan bahwa pembagian bid’ah yang demikian ini termasuk perkara bid’ah juga, karena tidak ada dalil dari syari’at. Hakekat bid’ah adalah sesuatu ibadah yang tidak ada petunjuknya dari syari’at, tidak ada nash dan tidak termasuk dalam kaidah-kaidah- nya.  Al-Syatibi dengan para pendukungnya memandang bahwa  bid’ah itu hanya pada masalah-masalah ibadah saja. Mereka mengemukakan beberapa contoh bid’ah seperti shalat Ragha’ib, yaitu shalat dua belas rakaat pada malam jum’at pertama bulan Rajab, shalat nisfu sya’ban, ba’diyah subuh dan ba’diyah ashar, azan dan iqamah untuk shalat ‘id dan gerhana, adzan dan iqamah untuk mengubur mayat, dan lain-lain.
       Sedangkan ulama yang membahas bid’ah pada keseluruhan yang diada-adakan sesudah Rasul, mempertahankan bid’ah dengan lima katagori (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah) tersebut diatas dengan mengemukakan kaidah:
   كل مالايتم الواجب إلابه فهوواجب
  Segala sesuatu yang menyempurnakan hal yang wajib, maka wajib pula hukumnya ”

I.            Kesimpulan
       Para ulama sepakat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dipandang sebagai agama padahal sesuatu itu bukan agama karena belum ada dimasa Rasul baik yang dilakukan maupun yang ditetapkan. Selanjutnya meraka berbeda pendapat mengenai cakupan bid’ah, sebagian mereka membatasi hanya pada masalah ibadah (ritual) semata-mata, sedangkan yang lain tanpa memberi batasan tersebut. Ulama yang membatasi bid’ah hanya pada masalah ibadah menegaskan semua bid’ah adalah sesat (dhalalah) dan setiap yang sesat masuk neraka. Sedang ulama yang memberi arti luas membagi bid’ah kedalam lima katagori: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

VI.  HIMBAUAN
         Dalam masalah ibadah hendaknya berpedoman pada petunjuk syari’at, karena ibadah dasarnya    “Melaksanakan perintah”, maka seandainya tidak ada perintah, janganlah mengerjakan sesuatu atas nama ibadah.