Sunday, December 12, 2010

MAQASHID AL-SYARI'AH



DOKTRIN MAQASHID AL-SYARI’AH & TEORI HUKUM AL-MASHLAHAH
PENGERTIAN & HUBUNGANNYA DENGAN METODE PENGAMBILAN HUKUM KONTEKSTUAL
2010
Oleh : Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Ag
https://drive.google.com/file/d/1ucYevTOPm0pV3o84r2hQCosULlNBmEy-/view?usp=sharing 



I. PENDAHULUAN
Secara keseluruhan Hukum Islam (al-fiqh) memproyeksikan Maqashid al-Syari’ah, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Implementasi maqashid al-syari’ah dituangkan dalam kajian fiqh disusun secara sistematis. Pakar Hukum Islam (Fuqaha) ada yang membaginya menjadi dua bagian besar, yaitu bagian ibadat dan bagian muamalat; ada pula yang membaginya menjadi tiga bagian : bagian ibadat, bagian muamalat dan bagian uqubat;[1] dan ada yang membaginya menjadi empat bagian : bagian ibadat, munakahat, muamalat dan jinayat.[2] Seorang ulama kontemporer Musthofa Ahmad al-Zarqa membagi materi fiqh menjadi tujuh bagian, yaitu bagian ibadat, bagian al-akhwal al-syakhshiyah, al-mu’amalat, al-siyasah al-syar’iyah, al-uqubat, al- huquq al-dauliyah dan bidang Adab[3].
Terlepas dari perbedaan pandangan dalam pengelompokan rumpun hukum kedalam bagian-bagian yang lebih luas atau sempit, namun jika dihubungkan dengan konsep Maqashid al-Syari’ah, maka masing-masing bagian tersebut mempunyai hubungan langsung dengan aspek-aspek yang dipertahankan oleh Maqashid al-Syari’ah. Seperti bahagian ibadat dan jihad bertujuan untuk mempertahankan eksistensi agama; bab nafakah, hadhanah dan hukuman qisas-diyat bertujuan untuk memelihara jiwa; hukuman cambuk bagi orang yang mengkonsumsi miras bertujuan untuk memelihara akal; hukuman potong tangan bagi pencuri dan hukuman mati atau pengasingan bagi para perampok bertujuan untuk memelihara harta; dan hukuman cambuk atau rajam bagi pelaku zina bertujuan untuk memelihara keturunan.
Para ulama ahli ushul selalu berpedoman pada doktrin maqashid al-syari’ah dalam membangun teori al-mashlahah. Istilah al-mashlahah dikemukakan oleh para ulama ahli ushul dalam membahas metode penemuan hukum berdasarkan dalil-dalil syar’ie (ijtihad), terutama dalam mencari penyelesaian kasus yang secara eksplisit atau secara implisit tidak terakomodir oleh nash dan berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari nash (istidlal)[4]. Para ulama terkemuka telah mengadakan pengkajian mendalam terhadap tujuan-tujuan syari’at dalam rangka membangun teori al-maslahat. Seorang ulama terkemuka, Imam Al-Syathibie mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian kami, hukum Islam itu ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Hasil temuan yang demikian ini tidak dapat dibantah oleh siapapun, termasuk oleh al-Razie[5] dan lain-lainnya. Al-Syathibie dalam rangka mempertahankan pendapatnya itu mengemukakan argumen teologis dan mengangkat ayat-ayat al-Qur’an tentang penciptaan alam, tentang pengangkatan para Rasul dan penetapan hukum-hukum yang dibebankan kepada umat manusia semuanya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hidup baik di dunia maupun di akhirat.[6]  Ulama terkemuka yang sejalan dengan pikiran al-Syathibie ialah Al-Izz Ibnu Abd al-Salam (penganut al-Syafi’ie) dan Ibnu Qayim al-Jauziyah (penganut mazhab Hanbalie). Al-Izz mengatakan bahwa hukum Islam secara keseluruhan mewujudkan kemaslahatan. Adapun mengenai bentuknya adakalanya berupa larangan agar terhindar dari kerusakan dan adakalanya berupa perintah agar memperoleh kemanfaatan.[7] Dan Ibnu Qayim mengatakan bahwa hukum Islam baik struktur maupun asas-asasnya merupakan hukum yang mencerminkan kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hukum itu adil seluruhnya, rahmat seluruhnya, maslahat seluruhnya dan penuh makna seluruhnya. Dengan demikian, apabila ada persoalan hukum berubah dari keadilan menjadi kezaliman, atau dari rahmat mejadi yang sebaliknya, atau dari maslahat menjadi mafsadat, atau dari yang penuh makna menjadi sia-sia, maka persoalan hukum tersebut jelas bukan hukum Islam walaupun diperoleh dari hasil penafsiran.[8]
Namun demikian penetapan hukum berdasarkan teori al-maslahah masih menimbulkan kontroversi di kalangan ulama. Sebagian mereka menolak secara tegas dan mengatakan bahwasanya tidak ada kemaslahatan kecuali apa yang telah disebutkan di dalam nash. Sebagian lagi berpegang teguh pada teori al-maslahat dan memposisikannya sebagai dalil yang harus didahulukan dari pada nash, kecuali dalam wilayah ibadat dan muqaddarat. Menurut kelompok ini, hukum Islam itu (al-syari’at) kadang-kadang tidak menjelaskan kemaslahatan. Maka apabila lahir nash bertentangan dengan kemaslahatan, haruslah mendahulukan kemaslahatan itu dari pada nash. Sedangkan sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa teori al-maslahat digunakan apabila tidak ada nash. Kelompok ini mengatakan : banyaklah praksis-praksis di masyarakat yang belum terakomodir dalam nash (al-maskut ‘anhu). Contohnya seperti mengatur ketertiban kota, ketertiban masyarakat, ketertiban ekonomi dan lain-lainnya semuanya belum terakomodir dalam nash sehingga masyarakat melalui para pemimpin dan cendekiawan yang bertanggung jawab berpeluang untuk mencari mana yang maslahat bagi kehidupan mereka. Karena kemaslahatan suatu bangsa pada suatu masa mungkin saja berbeda dan bahkan berubah dengan kemaslahatan suatu bangsa pada suatu masa yang lain[9]. Makalah ini menyajikan doktrin maqashid al-syari’ah yang dihubungkan dengan teori al-mashlahah dan beberapa permasalahannya.


[1] Lihat Ibnu Abidin dalam kitabnya Radd al-Mukhtar membagi isi fiqih kedalam tiga bagian tersebut
                [2] Lihat Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid  membagi isi fiqih kedalam empat bagian
[3] Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Makhal ila  al-Fiqh al-‘Am,  (Damascus,  Dar al-Fikr, 1968), jilid I, hal. 55-56
[4] Al-Syaukanie, Muhammad bin Ali, Irsyad al-Fukhul (Bairut, Dar al-Fikr, Tt.), hal. 241-241
[5] Al-Razie adalah seorang penganut Asy’arie, beliau berpendapat bahwa hukum-hukum Allah itu sebagaimana perbuatan-Nya, tidak harus beralasan itu dan ini (al-mu’allalah), karena hal itu mengesenkan terbatasnya kekuasaan Tuhan yang absolut.
[6] Al-Syathibie, Abu Ishaq, Ibrahim bin Musa,  al-Muwafaqat fie Ushul al-Syari’ah (Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Tt.), jilid 1, juz 2, hal. 4
[7] Abdullah al-Asyqar, Umar Sulaiman, Nadzarat fie Ushul al-Fiqh (Yordan, Dar al-Nafa’is, 1999), hal. 223
[8] Ibnu Qayimal-Jauziyah, A’lam al-Muwaqi’ien ‘an Rabb  all-Alamien (Bairut, Dar al-Jail, Tt.), juz 3, hal. 3
[9] Abdullah al-Asyqar, Nadzarat fie Ushul al-Fiqh, hal. 235-239


https://drive.google.com/file/d/1ucYevTOPm0pV3o84r2hQCosULlNBmEy-/view?usp=sharing