Sunday, October 30, 2016

PEMIKIRAN SYEKH AHMAD RIFA’I



PEMIKIRAN SYEKH AHMAD RIFA’I
Oleh : Prof. Dr. Abdul Djamil, MA

            Disertai ini merupakan rekonstruksi sejarah intelektual dan sejarah social dari tokoh gerakan Rifa’iyah yaitu KH. Ahmad Rifa’i menyangkut pemikiran dan Gerakan Islamnya. Apa yang dimaksud dengan sejarah intelektual adalah rekonstruksi pemikiran Islam Kiai Rifa’I sebagaimana dituangkan dalam tulisannya yang berjumlah enam puluh Sembilan, terdiri dari tiga ilmu keislaman yaitu Usul, fikih dan Tasawuf. Adapun yang dimaksud sejarah sosial dalam tulisan ini adalah rekonstruksi gerakan Islam kiai Rifa’i menyangkut dinamikanya ditengah-tengah gerakan sosial keagamaan pada abad sembilan belas. Dengan rekonstruksi tersebut akan diketahui tipologi gerakan yang memiliki karakter tersendiri dibanding dengan gerakan lainnya.
            Dalam melakukan rekonstruksi tersebut, dipergunakan pertimbangan sosiologis sehingga tampak pemikiran maupun gerakan Islamnya merupakan jawaban terhadap suasana Kalisalak pada abad sembilan belas. Inilah yang membedakannya dengan tradisi pemikiran dan gerakan Islam di Jawa pada waktu itu yang secata rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.   Dilihatdari segi hubungan ajaran agama dengan dimensi ruang dan waktu, pemikiran Rifa’I relevan dengan masyarakat Islam abad Sembilan belas, khususnya pendalaman Jawa Tengah. Ajaran mengenaisosok (‘Alim ‘Adil) adalah refleksi dari kritiknya terhadap tokoh-tokoh agama yang mau bekerjasama dengan penguasa asing (Belanda). Pandangannya mengenai rukun Islam satu dapat dipandang sebagai upaya untuk memberikan legitimasi bagi orang-orang Islam di wilayah pedesaan yang karena suatu alas an tidak dapat menjalankan kewajiban Islam lainnya seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Dengan pandangan ini orang-orang tersebut masih berstatus sebagai orang Islam yang memiliki banyak harapan.
Demikian pula pandangannya mengenai pernikahan yang mengesankan adanya keharusan untuk diulang (tajdid Al-nikah) mencerminkan kritiknya kepada pejabat agama yang dinilainya tidak memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai petugas nikah seperti saksi karena mereka ini dianggap tidak memenuhi syarat. Salah satu diantaranya adalah harus mursyid, yakni orang yang tidak melakukan tindakan fasik. Sedangkan saksi nikah harus memenuhi enam belas syarat, dua diantaranya tidak cacat marwat dan tidak ifasiq.
Dari penjelasan tentang persyaratan saksi nikah di atas, sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara pandangan Rifa’I dengan kitab-kitab fikih di dunia pesantren, hanya saja dalam penerapannya, ia terlihat menekankan pada aspek yang relevan dengan suasana keagamaan di tengah-tengah kekuasaan Belanda pada abad Sembilan belas.
Karena sedemikian banyaknya penjelasanmengenai hubungan antara ajaran agama dengan persoalan yang timbul pada waktu itu, maka pemikiran keagamaan Rifa’I terlihat sedemikian rinci mengupas berbagai masalah masyarakat yang timbul. Akibat dari tipe kupasan yang demikian ini berakibat kurang memberikan ruang gerak  bagi pengikutnya untuk melakukan inovasi dalam memahami agama sejalan dengan tuntutan keadaan yang selalu berkembang. Kondisi ini didukung oleh kenyataan bahwa mayoritas pengikut Rifa’iyah hidup dalam lingkungan kebudayaan pedesaan sehingga tidak dapat mengikuti irama perkembangan permasalahan sosial keagamaan kontemporer.
2.   Dilihat dari hubungannya dengan kelompok-kelompok keagamaan lain, pemikiran program kiai Rifa’i memiliki semangat yang esklusif ia terlihat berusaha menciptakan isolasi secara cultural dengan kebudayaan penguasa. Akan tetapi unsure yang seharusnya dilihat dalam kerangka ruang dan waktu penjajahan Belanda ini, ternyata berlanjut hingga pasca kemerdekaan dan bahkan hingga sekarang. Kesan inilah yang menjadikannya sebagai aliran keagamaan yang disana sini masih saja menghadapi hambatan mulai dari legalisasi pemerintah sampai dengan hubungannya dengan masyarakat luas diluar Rifa’iyah.
3.   Dilihat dari segi faham keagamaan, pemikiran Rifa’I merupakan tipe sinkronisasi antara aqidah, syari’a dan tasawuf. Pemikirannya dapat dipandang sebagai tipe palinf awal dalam merumuskan pengertian Ahlussunnah waljama’ah  dalam konteks Jawa yang pada intinya mengikuti pandangan ulama kepercayaan (taqlid) pada tiga bidang yaitu Usul, Fikih dan Tasawuf.
Cara taqlid yang dikembangkan kiai Rifa’I merupakan cermin dari upaya konstektualisasi pemahaman agama sesuai dengan tingkat kemampuan masyarakat dalam menggali ajaran dari sumber pokoknya (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia sadar bahwa masyarakat Islam dalam konteks Kalisalak dan sekitarnya pada pertengahan abad Sembilan belas, tidak mungkin diajak untuk berijtihad yang menuntut berbagai persyaratan, khususnya penguasaan ilmu-ilmu yang diperlukan untuk melakukan ijtihad seperti Bahasa Arab, ilmu tentang Al-Qur’an, ilmu tentang Al-Sunnah  pengetahuan tentang posisi Ijma’, pengetahuan tentang Qiyas, pengetahuan tentang tujuan hokum, bersihnya niat dan I’tiqadnya.
4.   Dilihat dari segi hubungan antara norma dan kenyataan sosial, pemikiran kiai Rifa’I bercorak induktif dalam arti berangkat dari fenomena di lapangan yang sedemikian majemuk, kemudian dicari referensinya dari Al-Qur’an, Al-Hadis dan pandangan ulama. Karena tipe pemikiran semacam inilah yang mengesankan kiai Rifa’I sebagai sosok ulama yang terlihat banyak mencampuri urusan di luar ibadah mahdah.
Dibanding dengan tokoh sejamannya seperti Nawawi al-Bantani, atau tokoh sebelumnya seperti Arsyad al-Banjari, Rifa’i lebih memperlihatkan tipe tersendiri dalam pemikirannya. Pemikiran Nawawi al-Bantani yang lebih banyak tinggal di Mekkah hingga wafatnya bercorak deduktif berpijak dari rumusan ajaran agama dari ulama Ahlussunnah. Akibatnya kurang memiliki kepedulian terhadap suasana umat Islam di bawah kekuasaan penjajah. Seperti halnya Nawawi, Arsyad al-Banjari juga memiliki corak serupa jika dilihat beberapa kitab tulisannya.
            Dengan tipe seperti ini maka pemikiran Nawawi dalam berbagai kitab yan ditulis memiliki ketahanan cukup lama tidak menimbulkan kontroversi. Kitab-kitab masih banyak dibaca oleh kalangan pesantren di Indonesia. Keadaan yang sama juga dialami oleh Syeh Arsyad al-Banjari yang hingga sekaran tulisannya masih dibaca orang, khususnya diwilayah Kalimantan Selatan. Sebaliknya pemikiran Rifa’i yang tipenya induktif kurang dapat memiliki elastisitas untuk masa-masa yang akan dating, sekalipun pada waktu itu benar-benar memberi kemudahan bagi umat Islam dalam konteks lokal abad Sembilan belas.
Dilihat dalam konteks aneka ragam derakan yang terjadi pada paruh pertama dari abad Sembilan belas, gerakan KH. Ahmad Rifa’i dapat digolongkan kedalam gerakan keagamaan dengan corak tradisional yang memiliki implikasi sosial (Religio-Tradisional Movement).
Ciri-ciri utamanya memiliki elemen-elemen seperti loyalitas lokal (local Loyalti), hubungan kekerabatan (kin solidarity) dan hubungan-hubungan berdasarkan status tradisional (traditional status relations). Elemen pertama terlihat pada kuatnya keterikatan anggota gerakan kepada tokoh sentral (KH. Ahmad Rifa’i). anggota gerakan malihat sosok Rifa’i guru dengan berbagai macam kelebihan mulai dari kedalaman ilmu agama sampai dengan charisma yang bertumpu pada keluar Biasaan sebagai kekasih Tuhan (Wali) . Sedemikian kuatnya ketertarikan tersebut sehingga loyalitas oengikut terhadap ajaran Rifa’I bertahan cukup lama (Hingga Sekarang) meskipun sering di anggap sebagai gerakan pengacau oleh berbagai kalangan . Namun demikian, hal ini menimbulkan implikasi lain yaitu kesulitan anggota gerakan untuk menyesuaikan dengan dinamika masyarakat, khususnya dalam penerapan ajaran Islam di tengah – tengah masyarakan modern.
            Hubungan kekerabatan juga menjadi elemen penting dari tipe gerakan Rifa’iyah yang terlihat semenjak Rifa’i membangun komonitas santri di kalisalak . Komonitas yang dibentuk melalui pengajaran Islam dengan kitab Tarajumah ini memiliki ikatan social yang kuat sehingga me4ngkhawatirkan pemerintah colonial di satu pihak dan birokrat tradisioanl di lain pihak . Fanatisme hubungan antar sesame anggota seringkali melampaui batas – batas hubungan darah sehingga warga Rifa’iyyah yang satu merupakan saubara bagi yang lain.
Hubungan antar anggota berdasarkan status tradisional , terlihat pada adanya hierarki pada kominitas Rifa’iyyah , di mana kiai Rifa’iyyah menduduki posisi tertinggi. Hal ini terlihat pada cara mereka melakukan dakwah Islam, pelaksanaan salat Jum’at pengulangan perkaawinan dan anggota bilangan jum’at. Semuanya memperlihatkan apresiasi yang sedemikian tinggi kepada kiai atas dasar ajaran Rifa’I mengenai figure ‘Alim ’Adil
            Implikasi yang muncul dari tipe gerakan keagamaan yang demikian ini adalah adanya hambatan dalam berkomonikasi secara luas dengan masyarakat Islam lainya  di luar Rifa’iyyah. Otoritas Rifa’I yang sedemikian kuat dalam mengemukakan pendangan agama menjadikan murid – muridnya tidak dapat berfikir secara alternative . Inilah yang kemudian menjadikanya sebagai  gerakan ekslusif yang sering menghadapi persoalan. Situasi ini digambarkan oleh laporan berbagai pihak kepada penguasa colonial yang menganggapnya sebagai pembawa ajaran islam sesat dan menyalahkan orang islam lain yang tidak masuk  dalam kelompoknya. Jika pemerintah melihat fenomena gerkan Rifa’I sebagai bahaya laten yang sewaktu – waktu dapat mengorbankan  semangat anti pemerintah , maka kalangan birokrat jawa  (Priyai) menempatkanya sebagai sosok kiai yang perlu di wasadi karena ajaranya yang cenderung menyalahkan orang Islam lainya.
            Selain itu, pemikiran modern tidak dapat berkembang sejalan engan tuntutan zaman karena keterpakuan kepada loyalitas local tanpa memiliki pelung untuk melakukan inovasi pemikiran. Namun demikian sebagai gerakan yang selalu dihadapkan pada berbagai tuduhan negative, ia memiliki kemandirian dalam konsolidasi yang dibuktikan pada sejumlah pertemuan dasar yang merekaselenggarakan dan penghimpunan dana untuk mencapai tujuan organisasi.
            Tipologi gerakan keagamaan yang bersifat tradisional tersebut pada dasarnya merupakan gerakan budaya yang bertujuan menciptakan isolasi cultural dengan kekuasan atau protes secara diam (silent protest). Geraan seperti ini merupakan konsekuensi logis dari  ketidakberdayakan menghadapi kekuasaan secara terbuka atau merupakan alternative lain dalam bentuk mobilisasi bawah tanah melalui kekuatan ajaran Agama, charisma tokoh dan solidaritas anggota sebagaimana diperlihatkan oleh grakan Rifa’iyah.
           

RIFA'IYAH




Rifa'iyah
Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Ag

R I F A I Y A H
Oleh : Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Ag

Tokoh Sentral Rifa’iyah
Tokoh sentral Rifaiyah, Syekh Ahmad Rifa’ie,  adalah
cucu KH Abu Suja atau Raden Sutjowidjojo, seorang Penghulu Landrat Kabupaten Kendal berasal dari keratin Yogyakarta. Beliau dilahirkan di Kendal pada tanggal 9 Muharrom 1200 H (1786 M), ayahnya bernama KH Muhammad Marhum dan ibunya bernama Siti Rochmah. Ketika berusia 6 tahun ayahnya Muhammad Marhum meninggal dunia, beliau diasuh oleh kakeknya KH Abu Suja, dua tahun berikutnya kakeknya meninggal lagi hingga tinggal bersama kakak perempuannya bernama Nyai Rajiyah, isteri KH Asy’ari, seorang pendiri pesantren Kaliwungu. Di tempat inilah Ahmad Rifai belajar ilmu hingga menjadi ulama muda yang energik.

Gurunya di Tanah Jawa
Di tanah Jawa Syekh Ahmad Rifa’ie berguru pada kakak iparnya yaitu KH Asy’ari. Beliau seorang ulama Dalem Keraton Mataram Yogyakarta, dilahirkan di Wanantara Jogja pada tahun 1746. Nama lengkapnya Asy’ari bin Ismail bin H Abdurrahman bin Ibrahim. Silsilah nasabnya sampai kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan kepada Rasulullah SAW. KH Asy’ari lebih dikenal dengan nama Kyai Guru, beliau datang ke Kaliwungu pada tahun 1781 atas perintah Sultan Mataram Islam Yogya setelah mendalami ilmu di Mekah selama 10 tahun. KH Asy’ari bersahabat dengan KH Abu Sudja yang menjabat Penghulu landrat di Kendal dan kenal dengan KH Muhammad Marhum serta saudara-saudara KH Ahmad Rifa’ie. Pada tahun 1786 ketika usianya 40 tahun KH Asy’ari menikah dengan Nyai Radjiyah putri KH Muhammad Marhum. Beliau inilah kelak yang mendidik Syekh Ahmad Rifa’ie menjadi ulama muda yang terkenal wara, cerdas, tegas, kreatif dan berani. Syaekh Ahmad Rifa’ie berada dalam asuhan Syekh Asy’ari sejak usia 8 tahun, yaitu sejak KH Abu Suja meninggal pada tahun 1794 M hingga meneruskan pelajaran ke Mekah pada tahun 1230H atau 1816 M.
Gurunya di Tanah Arab
Seperti disebutkan di atas, sekitar tahun 1230H/1816M Kyai Muda Ahmad Rifa’ie berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu agama Islam selama 8 tahun. Di tempat itu beliau berguru pada ulama-ulama madzhab Syafi’ie dan madshab Hanbali. Diantara gurunya yang bermadzhab Syafi’ie ialah Isa al-Barawie, nama lengkapnya Isa bin Ahmad bin Isa bin Muhammad Az-Zubairie Asy-Syafi’ie Al-Qahiri Al-Azharie. Sedangkan gurunya yang bermadzhab Hambali ialah Syekh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaishi. Menurut KH Ahmad Sadzirin Amin, Syekh Ahmad Rifa’ie setelah dari Mekah meneruskan pelajarannya ke Mesir selama 12 tahun, kemudian kembali mengajar di pesantren kakak iparnya di Kaliwungu Kabupaten Kendal Jawa Tengah.
Mendirikan Pesantren Kalisalak
Selanjutnya Syekh Ahmad Rifa’ie mendirikan pesantren di Kalisalak untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an dan pokok-pokok agama Islam kepada masyarakat. Pada awalnya pesantren ini hanya dikunjungi santri dari daerah sekitar, kemudian berkembang luas, para santri datang dari berbagai peloksok tanah Jawa, termasuk dari tanah Pasundan (Jawa Barat). Murid pertama yang dapat dicatat sebagai penerus perjuangan dakwah dan pendidikannya sebanyak 50 orang. Murid-murid tersebut berasal dari Kendal, dari Semarang, Batang, Pekalongan, Wonosobo dan lain-lainnya. Mereka inilah generasi pertama yang menyebarkan Islam ke berbagai pelosok tanah air, termasuk ke tanah pasundan (Jawa Barat), kemudian diteruskan oleh murid-murid generasi kedua, generasi ketiga, keempat dan kalima. Sekarang santrinya menyebar hingga meliputi Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Riau Kepulauan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua. Dan dari dzuriyah (keturunan) Syekh Ahmad Rifa’ie dari kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa tersebar di daerah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan lainnya.
Karya-Karya & Perjuangannya
Syekh Ahmad Rifa’ie adalah ulama Jawa abad ke-19 M/13 H yang produktif. Karya-karyanya berbahasa Jawa yang dikenal dengan kitab Tarajumah lebih dari 69 judul kitab. Syekh Ahmad Rifa’ie melalui kitab-kitabnya itu banyak memberikan protes terhadap pemerintah colonial Belanda dan kritik terhadap ulama birokrat yang mau bekerjasama dengan penguasa kafir dan dzalim. Kata-kata raja kafir, raja dzalim, orang munafik, dan fasik selalu dilontarkan untuk menyebut birokrat yang pro penjajah dan menindas rakyat. Dengan aksinya ini Syekh Ahmad Rifa’ie dianggap telah menghasut rakyat melawan pememrintah. Di sisi lain aksinya itu menimbulkan kebencian di kalangan birokrat yang dituduh fasik karena bekerja untuk membantu kepentingan kaum penjajah.
Syekh Ahmad Rifa’ie memiliki pendiran yang kuat untuk menentang kaum penjajah yang bercokol di Tanah Air. Di sampan itu beliau mengecam kaum pribumi yang mau mengabdi kepada raja kafir. Kebencian tersebut disampaikan dalam berbagai kesempatan dakwah kelliling daerah sekitar Kendal, Batang, Pekalongan, Temanggung dan Wonosobo. Pendirian demikian telah dimulai sejak muda hingga beliau kembali dari Timur Tengah dan mengajar di Pesantren kakak iparnya di Kaliwungu. Akibatnya beliau diasingkan ke Kalisalak, sebuah kampung yang jauh dari kota, termasuk Kabupaten Batang Karesidenan Pekalongan. Di sanalah Syekh Ahmad Rifa’ie membangun sebuah pesantren untuk mengajar mengaji dan menyusun karya-karya yang menjadi pedoman pengajarannya.
Namun karena karya-karyanya dinilai menghasut rakyat untuk menentang pemerintah, maka setelah melalui proses peradilan di Kabupaten Batang, pada tahun 1859 beliau diasingkan ke Ambon, kemudian pada tahun 1861 dipindahkan ke Minahasa hingga wafat tahun 1875. Beliau dimakamkan di komplek pemakaman Kyai Modjo, berdekatan dengan makam Kyai Hasan Maulani asal dari Kabupaten Kuningan Cirebon. Syekh Ahmad Rifa’ie yang gigih menentang pemerintah colonial Belanda pada tahun 2004 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudohyono.
Organisasi Rifaiyah
Organisasi Rifaiyah dengan tokoh sentral Syekh Ahmad Rifa’ie, secara the pacto telah ada semenjak Syekh Ahmad Rifa’ie membangun pesantren di Kalisalak pada tahun 1950-an. Akan tetapi secara resmi menjadi ormas Islam baru berdiri tahun 1991, yaitu setelah dideklarasikan oleh ulama dan cendekiawan Rifaiyah dalam Silaturahmi Nasional Pertama yang dilaksanakan di komplek Pondok Pesantren Al-Ishlah Arjawinangun Kabupaten Cirebon. Sebelumnya, pada tahun 1965 telah berdiri lembaga berbadan hukum, yaitu Yayasan Pendidikan Islam Rifaiyah (Yasrif) di Kabupaten Pemalang, yang disusul dengan berdirinya cabang-cabang di Kabupaten/Kota, terutama di Wilayah Jawa Tengah.
Latar Belakang Berdirinya Organisasi
Organisasi Rifaiyah lahir terinspirasi hasil Seminar Nasional “Mengungkap Pembaharuan Islam Abad XIX Gerakan Kiyai Haji Ahmad Rifa’ie, kesinambungan dan perubahannya” yang diselenggarakan di Balai Kajian Sejarah Yogyakarta tanggal 12–13 Desember 1990 dan semangat Festival Istiqlal 1991 di Jakarta. Seminar Nasional di Yogyakarta dihadiri nara sumber dari pakar sejarah Nasional dan Budayawan, antara lain Prof. Sartono Kartodirdjo, Dr. Kuntowidjojo, Drs. Tasyhadi (Kepala Balai Kajian Sejarah Yogyakarta), Adabi Darban, MA, Dr. Simuh (Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan lain-lain. Nara sumber internal Drs. Mukhlisin Muzarie, Drs. Mursidin Romli dan Chaeruddin Hasbullah. Seminar selama 2 (dua) hari dihadiri 200 orang peserta dari ormas Islam, Perguruan Tinggi dan Ulama Pondok Pesantren. Keputusan penting dari seminar tersebut menyimpulkan bahwa ilmu ushul, ilmu fikih dan ilmu tasawuf yang diajarkan oleh Syekh Ahmad Rifa’ie sesuai dengan faham Ahlussunnah Waljamaah. Dan seminar merekomendasikan warga Rifa’iyah agar mendirikan organisasi sebagai wadah perjuangan dan mengusulkan Syekh Ahmad Rifa’ie dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Pemerintah. Sedangkan Festival Istiqlal di Jakarta warga Rifaiyah menampilkan berbagai karya Syekh Ahmad Rifa’ie dan kebudayaan Jawa (Terbang). Warga Rifaiyah turut membuka stand selama 5 (lima) hari dengan membagi-bagikan brosur tentang gerakan Syekh Ahmad Rifa’ie kepada para pengunjung. Stand Rifaiyah setiap hari mendapat kunjungan beribu-ribu orang dari dalam dan dari luar negeri sehingga karya-karya Syekh Ahmad Rifa’ie dikenal oleh masyarakat luas. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menginspirasi berdirinya organisasi Rifaiyah sebagai wadah perjuangan untuk melestarikan dakwah dan pendidikan Syekh Ahmad Rifa’ie.
Kepengurusan PP Rifa’iyah
Kepengurusan periode pertama (1991-1997) dipimpin oleh KH. Muhammad Saud Al-Arba’ie sebagai Ketua Umum dan KH Ahmad Sadzirin Amin sebagai Sekretaris Jenderal. Periode kedua dan ketiga (1997-2004 & 2004-2008) dipimpin oleh Ketua Dewan Syuro KH Munawir Ridhwan dan Sekretaris Dewan Syuro Prof. Dr. KH. Abdul Jamil, MA, Ketua Umum KH Ahmad Sadzirin Amin dan Sekretaris Jenderal H. Mukhlisin Muzarie. Dan periode keempat (2008-2013) dipimpin oleh Ketua Dewan Syuro KH Ahmad Sadzirin Amin dan Sekretaris Dewan Syuro Prof. Dr. KH Abdul Jamil, MA, Ketua Umum Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Ag dan Sekretaris Jendelal H. Imam Ghozaly, S.Ag. Namun karena KH Ahmad Sadzirin Amin wafat dan Prof. Dr. KH Abdul Jamil, MA pindah tugas. semula menjabat Rektor IAIN Walisongo Semarang kemudian menjabat Kepala Litbang Agama (kemudian menjabat Direktur Jenderal Bimas Islam, kemudian menjabat Direktur Jenderal Penyelenggaraan Ibadah Haji) Kementerian Agama di Jakarta, maka berdasarkan hasil Muspim tahun 2011 yang membahas pergantian antar waktu, jabatan Ketua Dewan Syuro ialah KH Muhammad Amin Ridho dan Sekretaris Dewan Syuro H. Nurzuhad, SE. Selanjutnya berdasarkan hasil Muktamar VIII tahun 2013 di Kabupaten Pekalongan, Ketua Dewan Syuro terpilih KH Muhammad Amin Ridho dan sekretaris Dewan Syuro K. Ma’ruf Sabrawi, Ketua Umum terpilih Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Ag dan sekretaris Jenderal H. Imam Ghozali.
Wilayah Binaan
Wilayah binaan Pimpinan Pusat Rifa’iyah sekarang meliputi 24 propinsi, yaitu propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Banten, Jawa Timur, Bali, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau (Kepri), Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Termasuk daerah Kabupaten/Kota yang telah terbentuk.
Problem Sekretariat
Pimpinan Pusat Rifaiyah hingga saat ini belum memiliki kantor yang representative. Semenjak dideklarasikan di Cirebon tahun 1991 hingga Muktamar ke8 Tahun 2013 di Kabupaten Pekalongan sesuai Anggaran Dasarnya bahwa Organisasi Rifaiyah berkedudukan di Batang Jawa Tengah. Sejak saat itu hingga sekarang Kantor Pimpinan Pusat menggunakan rumah seorang Pengurus Pusat, KH Ali Nahri, beralamat di Jl. Perintis Kemerdekaan Nomor 17 Karanganyar Batang Propinsi Jawa Tengah.
Pada tahun 2011 berhasil membebaskan tanah seluas 600 m2 di pusat Kota Pekalongan tetapi hingga sekarang belum dapat membangun. Tahun sebelumya berusaha membeli gedung KOPTI di kota Batang, tetapi akhirnya dialihkan ke pihak lain. Sebagai Kantor Sementara di Ibu Kota, PP Rifaiyah beralamat di Komplek Masjid Baiturrahman Cempaka Putih Jakarta Pusat.   
Penutup
Demikian sekilas tentang Rifaiyah, mudah-mudahan mendapat perhatian semua pihak, baik dermawan yang berkenan memberikan infak atau wakaf maupuan pihak pemerintah cq Kementerian Agama yang selalu membina ormas Islam, agar Rifaiyah eksis sebagaimana halnya ormas Islam yang lain.



















 






















 





















Sunday, March 6, 2016

HUKUM PERWAKAFAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT



HUKUM PERWAKAFAN
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
(Implementasi Wakaf di Pondok Modern Darussalam Gontor )


 
 
Penulis                       : H. Mukhlisin
Diterbitkan                : Kementerian Agama RI.


Wakaf didefinisikan sebagai sumbangan yang dilembagakan untuk memfasilitasi kegiatan keagamaan dan social. Saat ini peran wakaf sangat strategis, terutama setelah krisis moneter yang berdampak krisis multi dimensional. Namun faktanya di Indonesia lain, sebagian wakaf berupa wakaf non produktif. Ada wakaf yang dieksplorasi dari masyarakat dan berhasil diberdayakan melalui unit-unit usaha perdagangan sehingga berkembang dan mampu membiayai lembaga pendidikan yang besar serta berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat, yaitu wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor. Oleh karena itu, pengkajian ulang terhadap konsep wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil masyarakat menjadi sangat penting.

Tujuan penelitian untuk mengungkap aspek maslahat dalam hokum perwakafan sesuai dengan  maqashid al-syari’ah  dan implementasinya di Pondok Modern Darussalam Gontor, baik mengenai eksplorasi sumber-sumber wakafnya maupun pemberdayaannya yang berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat, baik masyarakat akademik maupun masyarakat lainnya.

Metode penelitian menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, namun demikian, metode normative ini juga ditopang oleh kenyataan empiric yang diterapkan di Pondok Modern Darussalam Gontor. Oleh karena itu penulis  berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menjadikan permasalahan-permasalahan hukum terkait dengan  konsep wakaf dan status hukum  benda-benda yang diwakafkan serta menggambarkannya secara sistematis mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang berkembang dilapangan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara. Data yang berhasil dikumpulkan mula-mula disusun kemudian dijelaskan dan dianalisis denghan menggunakan logika induktif, artinya silogisme dibangun berdasarkan data lapangan yang berssifat khusus dan bermuara pada kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum.