Monday, April 26, 2010

Islam : Iman dan Amal

1. Pengertian
Apabila Islam diartikan secara terpisah dengan Iman, maka Islam adalah ketaatan lahir (inqiyad al-zhahir) dan Iman adalah kepasrahan batin (inqiyad al-bathin). Dari pengertian ini memungkinkan adanya orang yang secara lahir menganut Islam tetapi batinnya ingkar, dalam istilah teologis orang yang demikian disebut “munafiq”. Di sisi lain ada orang yang batinnya beriman, tetapi secara lahir dia belum mengikrarkan dua kalimah syahadat, orang yang demikian menurut Syaikh Ahmad Rifa’i disebut “mu’min ‘inda Allah dan kafir ‘inda al-naas”.
Dalam Al-Qur’an penyebutan Iman mencakup Islam dan penyebutan Islam mencakup Iman, misalnya seperti dalam surat 3 (Ali Imran): 102
ياأيهاللذين أمنوا اتقواالله حق تقاته ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Dan ada yang menggunakan makna terpisah antara keduanya, yakni Islam untuk lahir dan Iman untuk batin seperti dalam surat 49 (Al-Hujurat): 14
قالت الأعراب آمنا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولما يدخل الإيمان فى قلوبكم
Artinya :“Orang-orang Arab Baduwi berkata: kami telah beriman; katakanlah (kepada mereka) kamu belum beriman, tetapi katakan : kami telah tunduk (islam), karena iman itu belum masuk kedalam hatimu...”

Namun demikian sesungguhnya Islam adalah agama Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan menjadi rahmat bagi seluruh alam, merupakan agama yang mengajarkan iman dan amal yang tak dapat dipisahkan, iman merupakan landasan pokok untuk tegaknya amal atau syari’at sedangkan amal atau syari’at merupakan tuntutan logis dari iman tersebut. Iman atau ‘aqidah adalah sikap batin yang sangat kokoh dan amal atau syari’ah merupakan realitas dari keyakinan batin yang kokoh hingga sikap batin yang tunduk pada doktrin keimanan tak dapat dipisahkan dengan ketaatan lahir terhadap ketentuan syari’at, laksana buah dengan pohonnya. (Sayid Sabiq , 1976: 7)
2. Pokok-Pokok Keimanan
Pokok-pokok keimanan sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits di atas ada 6 hal yang harus diketahui dan diyakini oleh setiap mu’min, yaitu :
a. Ma’rifat (pengetahuan hati) pada Allah; ma’rifat pada Allah SWT bisa dilakukan melalui pengetahuan terhadap nama-nama-Nya yang Maha Mulia (Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur dan bisa juga melalui pengetahuan (ma’rifat) terhadap bukti-bukti lain yang menunjukan adanya Dzat Yang Maha Kuasa seperti adanya alam dan segala isinya.
b. Ma’rifat pada alam di balik alam nyata (alam ghaib) yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, seperti Malaikat, Jin, Syaithan dan Ruh.
c. Ma’rifat pada kitab-kitab Allah yang diturunkan untuk membuat patokan antara baik dan buruk, benar dan salah serta halal dan haram.
d. Ma’rifat pada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul Allah yang telah dipilih serta diangkat oleh-Nya untuk memberikan petunjuk dan membimbing manusia menuju jalan yang benar yang diridhai oleh Allah SWT.
e. Ma’rifat pada Hari Akhir dan segala yang ada di dalamnya seperti kebangkitan dari kubur (al-ba’ts), adanya pembalasan (al-jaza’), pemeriksaan amal (al-hisab), timbangan amal (al-mizan), pahala amal baik (tsawab), dosa (al-itsm, al-dzamb) dan siksa (al-‘iqab), surga (al-jannah) dan neraka (al-naar).
f. Ma’rifat pada ketentuan Allah SWT (al-qadar), suatu otoritas yang mengatur seluruh perjalanan makhluk dan menata alam semesta.
3. Kesatuan ‘Aqidah dan Perbedaan Syari’ah
Pokok-pokok keimanan seperti tersebut di atas merupakan landasan ‘aqidah (keyakinan) yang diajarkan oleh para Rasul semenjak dahulu kala sampai dengan Rasul terakhir, seperti disebutkan dalam firman Allah surat 42 (al-Syura) ayat 13:
شرع لكم من الدين ماوصىبه نوحا والذي أوحينا اليك وماوصينابه إبرهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولاتتفرقوا فيه
Artinya :“ Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya...”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa pokok-pokok keimanan yang diajarkan oleh para Rasul yang meliputi keesaan Allah, beriman kepada-Nya dan taat pada Rasul-Rasul-Nya adalah sama. Menurut Imam Mujahid setiap Nabi yang diutus oleh Allah SWT selalu membawa syari’at untuk menegakkan shalat, membayar zakat, ikrar untuk mentaati perintah Allah dan mengajarkan pokok-pokok akhlak seperti jujur, memenuhi janji, melaksanakan amanat, shilaturahim, mengharamkan zina dan mencuri (Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Munir 25: 39). Adapun mengenai syari’at atau cara-cara peribadatan berbeda-beda sesuai dengan masa dan lingkungan umat masing-masing. Dalam ayat tersebut menyebutkan lima orang Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi yaitu: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi Muhammad SAW karena mereka pemuka para Nabi (akabir al-anbiya’) dan memiliki syari’at yang besar serta pengikut yang banyak jumlahnya. Namun rincian syari’at yang diajarkan tidaklah sama, sayangnya kita tidak memperoleh informasi yang rinci mengnai tata cara peribadatan Nabi-Nabi terdahulu sehingga kita tidak dapat membandingkan dengan praktek ibadah yang kita laksanakan sekarang ini, Allah menerangkan dalam surat 5 (Al-Ma’idah) ayat 48 sebagai berikut:
لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
Artinya : “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang .”
Menurut Al-Alusi ayat ini menjelaskan kepada Ahl al-Kitab yang ada pada masa Rasulullah SAW dengan tujuan agar mereka tunduk pada hukum-hukum Allah (syari’at) yang diturunkan kepada beliau dan agar dilaksanakan, bukan tunduk pada hukum-hukum yang lain yang ada pada kitab-kitab mereka. Dengan demikian bahwa setiap umat memiliki syari’atnya sendiri, umat yang hidup semenjak Nabi Musa sampai dengan Nabi Isa tunduk pada hukum-hukum Taurat, umat yang hidup semenjak Nabi Isa sampai dengan Nabi Muhammad SAW tunduk pada hukum-hukum yang ada di dalam Injil, dan umat yang hidup semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dengan hari Kiamat tunduk pada hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an, karena Nabi Muhammad adalah Nabi yang terakhir (khatam al-nabiyyin) dan diutus oleh Allah SWT untuk seluruh umat (Rasuulun ila al-naasi kaaffah), maka semua umat harus tunduk pada hukum-hukum yang terakhir diberlakukannya (Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Munir 6 : 217)