Wednesday, July 17, 2013

Kasus Kasus Perkawinan di Era Kontemporer (Bedah Buku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bersama ADITV))

BAGIAN I
A. Kompleksitas Masalah Perkawinan
Era modern dengan akselerasi berbagai perkembangan, dengan sendirinya membawa dampak perubahan dan dinamika masyarakatnya. Berbagai masalah mengemuka, seperti dekadensi moral, budaya yang semakin permisif, hingga pergaulan bebas. Berbagai kasus perkawinan pun muncul semisal perkawinan antar agama, perkawinan antar warga negara, perkawinan wanita hamil, hingga perkawinan menggunakan alat elektronik (telephone dan telecomefrence). Melihat kenyataan tersebut, ditambah dengan maraknya fenomena gadis-gadis belia yang terlanjur mempunyai anak sebelum akad nikahnya dilaksanakan, dan kasus yang menghebohkan dengan adanya perkawinan sesama jenis, semuanya menambah beban masyarakat yang mengharapkan kehidupan yang harmonis dengan dasar-dasar dan nilai moral keagamaan. Realitas tersebut pada akhirnya menjadi tantangan bagi para ulama fiqh untuk terus mengkaji dan berijtihad guna membantu penyelesaian atas masalah tersebut. Kontroversi atau perbedaan pendapat antar ulama atas kasus-kasus tersebut tentu saja sangat dimungkinkan, tetapi paling tidak fatwa dan pandangan-pandangan mereka akan tetap membantu masyarakat untuk mencari pedoman dan langkah solusi atas berbagai persoalan tersebut. Kasus-kasus perkawinan yang muncul di era kekinian menuntut adanya pengembangan pemikiran fiqh kontemporer, khususnya menyangkut perkawinan dengan segala kompleksitasnya. Artinya, hukum Islam di bidang ini membutuhkan pengembangan pemikiran terus-menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Salah satu masalah yang menonjol dan kian fenomenal akhir-akhir ini, adalah kasus perkawinan wanita hamil di luar nikah. Bermula dari kasus pergaulan bebas (free sex) yang melanda muda mudi, kemudian berlanjut dengan kumpul kebo (samen laven) dan akhirnya hamil serta melahirkan keturunan di luar nikah. Kasus ini terjadi tidak terbatas pada kalangan keluarga yang awam terhadap agama tetapi sampai kepada keluarga yang diidentifikasi sebagai kelompok yang memahami agama dan memiliki wibawa khusus di masyarakat. Banyak orang-orang yang terpandang mempunyai status sosial yang cukup tinggi di masyarakat dan kharismatik kehilangan muka dan tidak sanggup menanggung malu karena salah seorang keluarganya hamil atau menghamili orang lain. Musibah ini telah mewabah (umum al- balwa) di kalangan masyarakat muslim sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks dan kontroversi, baik dalam tinjauan syar’i maupun formal administratif. Kini telah banyak kasus perkawinan hamil yang terjadi di masyarakat. Mereka mencari perlindungan hukum dan meminta kepada PPN untuk melaksanakan pernikahannya . Para PPN memenuhi permintaan masyarakat untuk melakukan pencatatan perkawinan hamil dari zina melalui pendekatan formal bahwa yang bersangkutan tidak ada halangan untuk melaksanakan pernikahan. Mereka tidak mempertimbangkan persyaratan-persyaratan substansial yang dapat mendekatkan pada maqashid al- syari’ah yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Perkawinan bukanlah hanya untuk menghalalkan hubungan suami istri, tetapi juga untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat (hifzh al-nasl). Hal lain yang mendorong untuk melaksanakan perkawinan hamil ialah upaya hukum untuk melindungi hak-hak perdata bagi anak yang akan dilahirkan, di samping untuk melindungi kehormatan keluarga yang telah tercemar namanya di tengah-tengah masyarakat. Di lain pihak banyak masyarakat yang terlanjur mempunyai anak sebelum perkawinannya sempat dicatat di Kantor Urusan Agama (nikah bawah tangan). Akibat kelalaian ini mereka menghadapi masalah yang cukup rumit, yaitu perkawinannya tidak mendapat kepastian hukum dan hak-hak anak yang dilahirkan tidak dapat dilindungi. Hal ini akan berdampak sangat luas, terutama yang menyangkut hukum keluarga (Al-Akhwal Al-Syakhshiyah) dan hukum kewarisan (Al-Ahkam Al-Mawaris). Banyak kasus masyarakat yang mengajukan permohonan untuk mengabsahkan pernikahan (itsbat al-nikah) dengan tujuan untuk memperoleh kepastian hukum agar dapat melindungi hak-hak anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang tidak tercatat perkawinanya di Kantor Urusan Agama. Keadaan seperti ini apabila dibiarkan berlanjut, tanpa ada upaya-upaya preventif untuk mencegahnya (sadd al-dzari’ah), maka akan terbuka masalah-masalah sosial yang lebih luas (fath al-dzari’ah) dan makin menjalar penyakit masyarakat (patologi sosial) yang berupa perzinaan serta memperluas adanya anak-anak terlantar. Syari’at Islam (hukum fiqh) tampak memberi kelonggaran untuk menikahkan wanita hamil dari zina. Hal ini didasarkan pada pemikiran logis bahwa status wanita tersebut tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak pula dalam masa iddah (al-ayim), maka tidak ada halangan untuk dinikahkan. Rasulullah pernah menetapkan keputusan dalam kasus ini dengan mengizinkan untuk dinikahkan, alasannya bahwa perbuatan haram (zina) tidaklah dapat menghalangi perbuatan yang halal (nikah) . Yang dapat menghalangi pernikahan hanyalah hamil dari nikah yang sah, sedangkan hamil dari zina tidak menghalangi pelaksanaan pernikahan, baik dengan ibunya maupun dengan anaknya. Selanjutnya muncul pertanyaan tentang hubungan sebadan setelah berlangsungnya pernikahan tersebut, baik yang pernikahannya dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain dalam kasus laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab. Pertanyaan ini muncul karena berdasarkan logika pada kasus pertama (dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya) akan terjadi percampuran benih (ikhtilath al-nuthfah) antara benih yang suci sesudah nikah (al-nuthfah al-muhtaramah) dengan benih yang tidak suci sebelum nikah (al-nuthfah ghair al-muhtaramah) yang mengakibatkan tercemarnya fithrah. Pada kasus kedua (laki-laki yang menghamili tidak bertanggung jawab dan akhirnya dikawinkan dengan laki-laki lain), maka akan terjadi percampuran nasab (ikhtilath al-nasab) yang sangat dijaga oleh syari’at. Dari pandangan ini muncul pendapat-pendapat yang kontroversial, sebagian pakar fiqh mengatakan bahwa perkawinan hamil dari zina hukumnya sah dan sebagian lagi mengatakan tidak sah. Mereka yang mengatakan sah, bersilang pendapat tentang kebolehan melakukan hubungan sebadan antara kedua suami istri tersebut. Sebagian menetapkan hukumnya boleh (halal) dan sebagian yang lain menetapkan hukumnya tidak boleh (haram) sampai dengan bayinya dilahirkan. Apabila bayinya telah dilahirkan dan ibunya telah suci dari nifas, maka boleh berhubungan sebadan dengan istrinya tanpa memperbaharui perkawinannya. Dalam kasus perkawinan hamil ini, fiqh sebagai formulasi pemahaman syari’at yang menuntut setiap penegak hukum (Hakim Agama dan PPN) agar dapat menerapkan dengan sebaik-baiknya dan masyarakat agar dapat mematuhi dengan setulus-tulusnya sangatlah sulit dilaksanakan. Karena banyak pendapat di kalangan fuqaha seperti tersebut di atas menjurus kepada ketidakpastian hukum. Dengan kata lain bahwa syari’at Islam (baca: fiqh) dalam konteks ini tidak dapat menyelesaikan masalah. Di Indonesia ada rumusan tertulis mengenai Hukum Islam (semacam fiqh) yang menjanjikan kepastian hukum dan menjanjikan dapat menyelesaikan masalah, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI ini dilihat dari prosesnya yang melibatkan para ulama dari berbagai faham atau aliran dapat dikatakan fiqh murni, karena rumusan tersebut merupakan hasil ijtihad jama’ii yang berarti murni hasil pemikiran. Tetapi dilihat dari pelaksanaannya yang menggunakan political power dapat dikatakan sebagai hukum tertulis, karena fiqh hasil modifikasi itu diberlakukan melalui Intruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 1991 dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 154 tahun 1991 sehingga mengikat para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama. Namun KHI cenderung mengadopsi pendapat jumhur yang membolehkan wanita hamil dari zina dinikahkan. Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa seorang “wanita hamil dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya”. Dan dalam ayat (2) menegaskan “setelah bayinya dilahirkan pernikahannya tidak perlu diulang”. Ketentuan ini sebenarnya merupakan langkah maju dan sekaligus jalan keluar dari kemelut hukum akibat dari pengaruh ikhtilaf yang tak kunjung selesai, karena hakim-hakim di seluruh Indonesia akan memutuskan kasus sesuai dengan kekentuan KHI, dan menurut kaidah fiqh bahwa keputusan hakim dalam kasus perbedaan pendapat produk ijtihad dapat menghilangkan pluralisme pandangan. Sayangnya ketika memasuki tataran praktis, konsep hukum Islam yang tertuang dalam KHI ternyata masih mengalami hambatan, karena di masyarakat masih terdapat dualisme hukum, yaitu fiqh murni di satu sisi dan fiqh kompilasi di sisi lain. Ulama pimpinan Pondok Pesantren dengan keyakinannya bahwa fiqh murni adalah syari’at yang wajib ditegakkan, mereka berusaha keras agar ketentuan-ketentuannya berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan praktisi hukum Islam (Hakim Agama dan PPN) berusaha untuk memberlakukan fiqh kompilasi. Pertentangan ini boleh jadi karena ada perbedaan visi yang sangat mendasar. Kelompok ulama ingin mempertahankan norma yang dianggapnya sakral dan transendental sehubungan dengan posisinya sebagai ulama waratsah al-anbiya yang bertanggung jawab kepada Allah SWT. Sedangkan Hakim Agama dan PPN mempertahankan norma yang berdimensi horizontal sehubungan dengan posisinya sebagai pejabat yang harus bertanggung jawab secara struktural. Dari kasus perkawinan hamil yang dilematis ini, muncul kasus baru yang lebih rumit, karena menyangkut masalah-masalah sosial yang lebih luas. Kasus yang dimaksud adalah tentang status nasab anak yang dilahirkan, apakah dapat dinasabkan kepada bapaknya ataukah tidak. Kendati syari’at Islam tidak melakukan diskriminasi terhadap anak yang dilahirkan dan secara tegas menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan berstatus fithrah , dan tidak ada alasan untuk mempersalahkan anak lantaran perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang tuanya, tetapi Islam dalam konteks ini mempunyai kepentingan, yaitu untuk mengatur keturunannya (al-muhafazhah ‘ala al-nasl). Dari sudut inilah syari’at Islam membagi anak ke dalam dua katagori, yaitu anak sah dan anak zina atau diperhalus menjadi anak luar nikah. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, sedangkan anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan luar nikah. Syubhat yang mendasar pada anak yang dilahirkan dari perkawinan hamil adalah bahwa secara formal anak itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan bapaknya benar-benar mengakui anak itu sebagai anaknya sendiri atau sekurang-kurangnya tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga “li’an”. Tetapi secara substansial anak itu terjadi melalui hubungan ilegal (al-sifah) sehingga timbul pertanyaan apakah status anak tersebut menjadi anak sah ataukah anak zina, atau dapatkah disahkan melalui Lembaga Pengakuan Anak (iqrar al-nasab). Para pakar Hukum Islam (fuqaha) telah menetapkan bahwa anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya (walad al-mulhaq) apabila umur kandungannya lebih dari enam bulan terhitung sejak tanggal perkawinannya, tetapi apabila kurang dari enam bulan, maka tidak dapat dinasabkan kepada bapakya, melainkan hanya kepada ibunya. Dilihat dari pertimbangan hukumnya keputusan ini mempunyai kelemahan, karena pertimbangnanya hanya mendasarkan pada masa hamil yang terpendek (aqallu muddah al-hamli) yaitu enam bulan. Pertimbangan hukum yang demikian dapat diterima (logis) apabila kasusnya menyangkut wanita yang sering terlambat haid atau tidak pernah haid sama sekali sehingga saat melangsungkan pernikahan masih belum diketahui secara pasti apakah yang bersangkutan sedang hamil atau tidak. Sekarang masalahnya sudah diketahui bahwa pada saat berlangsungnya akad nikah calon penganten wanita telah hamil. Yang menjadi musykil di sini ialah adanya perbedaan status anak yang dilahirkan sebelum dan sesudah enam bulan, padahal kedua-duanya telah jelas dari proses hubungan ilegal (zina), dan pembuahannya terjadi sebelum akad. KHI berpandangan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari perkawinan yang sah (pasal 99 ayat 1). Jika dicermati statemen ini maka akan tampak bahwa KHI membuka peluang untuk menampung anak yang lahir dari akibat perkawinan hamil ke dalam pengertian anak yang sah. Karena diktum tersebut menggunakan kata “dalam”, maka artinya setiap anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dapat dianggap sebagai anak sah. KHI sama sekali tidak mempertimbangkan apakah perkawinan tersebut dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya atau tidak, dan tidak pula mempertimbangkan apakah dilahirkan sesudah enam bulan dari perkawinannya atau tidak. Seandainya KHI tidak mencantumkan kata “dalam” dalam diktum tersebut, maka maknanya tidak menampung anak yang terjadi pembuahannya sebelum akad. Oleh karena KHI membuat rumusan yang tidak tepat, maka kasus anak yang dilahirkan akibat perkawinan hamil kembali tidak mendapat kepastian hukum sehingga tetap menjadi ajang pertentangan ulama fiqh. Dari latar belakang tersebut di atas, maka tampaklah bahwa masalah ini masih relevan dilakukan dengan maksud untuk mencoba memecahkan kemelut hukum yang masih belum final. Sehingga fiqh sebagai formulasi dari pemahaman syari’at, dan undang-undang yang menjadi sumber legislasi yustisial dapat menjamin kepastian hukum, terutama yang menyangkut perkawinan wanita hamil dari zina dan status keabsahan serta hak-hak anak yang dilahirkan. Berdasarkan dari uraian tersebut, terdapat sejumlah masalah terkait perkawinan wanita hamil dari zina baik menyangkut keabsahan menurut fiqh dan menurut undang-undang, hak-hak anak yang dilahirkan serta dampak sosialnya di masyarakat.