Saturday, September 28, 2013

ILMU KALAM (Ilmu Tauhid)



ILMU KALAM (ILMU TAUHID)



1.        1.  Pengertian
Kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab yang berarti pengetahuan, kemudian “ilmu” digunakan untuk menunjukkan suatu pengetahuan yang telah disusun secara sistimatis dan teratur sehingga antara satu bagian dengan yang lainnya saling berkaitan. Kata “kalam” berasal dari bahasa Arab juga yang artinya perkataan. Arti semula “al-kalam” adalah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan sesuatu maksud. Dalam kaitan ini al-Qur’an disebut Kalamullah, seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini:

أفتطمعون أن يؤمنوا لكم وقد كان فريق منهم يسمعون كلام الله ثم يحرفونه من بعد ما عقلوه وهم يعلمون
 Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mngetahuinya(QS. al-Baqarah: 75)
Dengan demikian ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan kalamullah, yaitu suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana yang kita kenal sekarang. Menurut catatan ahli sejarah, istilah ini untuk pertama kalinya digunakan pada masa Daulat Abbasyiyah, pada masa Khalifah al-Ma’mun (w. 218 H). Sebelumnya pem,bahasan tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa  dan kepada hal-hal yang ghaib disebut al-fiqh fi al-dien atau al-fiqh al-akbar.
2.      Tentang Penamaan Ilmu Kalam
Ada beberapa alasan mengenai ilmu yang membahas tentang kepercayaan ini disebut Ilmu Kalam, yaitu :
a.       Karena persoalan penting yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan hijriyah ialah mengenai firman Allah (Kalamullah) dan perdebatan sekitar apakah al-Qur’an bersifat qadim atau hadits.
b.      Karena pembicaraan para Mutakallimin banyak menggunakan dalil-dalil aqli (logika) dan jarang sekali menggunakan dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan al-Hadits).
c.       Karena pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai disiplin ilmu logika dan filsafat, maka pembicaraan soal-soal kepercayaan agama ini dinamai Ilmu Kalam untuk membedakannya dengan logika dan filsafat.
3.      Nama-Nama Lain dari Ilmu Kalam
   Dilihat dari tujuan dan ruang lingkup serta obyek pembahasan Ilmu Kalam, maka ada beberapa nama lain dari Ilmu Kalam, yaitu :
a.       Ilmu Tauhid, dinamai demikian menurut A. Hanafi karena ilmu ini tujuannya untuk meng-Esakan Tuhan dalam Dzat, Shifat dan Af’al-Nya. Dia Maha Esa, tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak ada yang menyamai ciptaan-Nya.
b.      Ilmu Aqa’id, yaitu ilmu yang membahas tentang cara beriman yang kuat, kokoh dan mantap kepada Allah SWT dan berbagai hal yang bersangkut-paut dengan-Nya.
c.       Ilmu Ushuluddin, yaitu ilmu yang membahas pokok-pokok agama yang telah disampaikan oleh para Rasul kepada umat manusia, yakni iman kepada Allah, kepada para Malaikat, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul, Hari Akhir dan qadar.
d.      Al-Iman, istilah “Kitab al-Iman” untuk ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam; banyak para penulis menggunakan istilah ini sehubungan dengan lapangan pembahasannya meliputi hal-hal kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT dan hal-hal yang ghaib.
e.       Teologi Islam, banyak pula penulis yang menggunakan istilas teologi untuk Ilmu Kalam. Teo berarti Tuhan dan logi berarti ilmu, jadi artinya ilmu tentang ketuhanan.


4.  Metode Ilmu Kalam
                        Para peneliti umumnya berpendapat bahwa Teologi Islam (Ilmu Kalam) menggunakan metode berfikir filsafat yang dipadukan dengan ajaran Islam.  Dengan demikian Teologi Islam tidak dapat dikatakan sebagai ilmu keislman murni, melainkan ilmu yang sudah dipengaruhi pemikiran filsafat. Oleh karena itu sebagian Ulama Salaf, Ulama yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah secara ketat dan memahaminya secara tekstual cenderung tidak mau menerima Teologi Islam sebagai ilmu keislaman, karenanya mereka tidak mau mempelajarinya. 

Thursday, September 26, 2013

MUKTAMAR RIFAIYAH VIII (Bahan Kajian Bahsul Masail)



BAHAN KAJIAN BAHTSUL MASAIL
MUKTAMAR RIFA’IYAH VIII DI KABUPATEN PEKALONGAN
4-7 MUHARAM 1435/8-11 NOPEMBER 2013

1.      Memberi Bab dan Halaman Kitab Tarajumah
Deskripsi Masalah :
Kitab-kitab karya Syekh Ahmad Rifa’ie yang disusun dalam bahasa Jawa banyak dikaji oleh ilmuwan dan sarjana dari berbagai keahlian dan jurusan. Selain itu, telah menjadi sumber rujukan dalam kajian ilmu ushul, fikih dan tasawuf. Akan tetapi permasalahannya tidak satupun kitab yang jumlahnya mencapai 69 buah itu diberi daftar isi dan halaman sehingga sangat sulit untuk dilacak pokok pembahasannya. Pertanyaannya, bagaimanakah apabila kitab-kitab karya Syekh Ahmad Rifa’ie tersebut diberi bab dan halaman serta diberi sumber pengambilannya hingga memudahkan pengkaji untuk mencari pokok-pokok pembahasan.

2.      Menyalin dan Mencetak Kitab Tarajumah
Deskripsi Masalah :
Jamaah Rifa’iyah menyebar ke seluruh Indonesia, baik dari kalangan murid maupun keturunan (dzurriyyah) Syekh Ahmad Rifa’ie dari Minahasa (Menado), tidak memahami bahasa Jawa dengan baik sehingga kitab-kitab yang disusun dalam bahasa Jawa menjadi asing bagi mereka. Pertanyaannya, bagaimanakah apabila kitab-kitab tersebut disalin kedalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu atau diberi syarahan dengan bahasa tersebut? Dan bagaimana pula apabila kitab-kitab tersebut dicetak, tidak ditulis tangan, dengan tujuan untuk memperbanyak produksi dan mempercepat penyebaran ke berbagai wilayah?
  
3.      Mendirikan Bank Syari’ah
Deskripsi Masalah :
Pekerjaan Rumah (PR) umat Islam yang cukup merepotkan sejak masa Nabi hingga sekarang adalah berkembangnya orang-orang yang mendua (munafik) dan system ekonomi ribawi. Pasalnya dahulu ketika orang-orang munafik akan ditindak tegas oleh Umar bin Khattab, Nabi SAW melarangnya. Sedangkan masalah riba baru dibatalkan ketika Nabi SAW menjalankan haji wada, 81 hari sebelum Nabi wafat. Artinya, system ekonomi ribawi yang sudah berurat berakar di masyarakat itu baru dilarang pada saat risalah hendak berakhir, sehingga mungkin pemberantasan riba di masyarakat belum tuntas, terutama di kalangan kaum Yahudi. Sekarang timbul kesadaran kaum muslim ingin membangun sistem perekonomian yang berbasis syari’ah, non ribawi, baik dalam lembaga keuangan (per-bank-an) maupun dalam transaksi bisnis (muamalah). Pertanyaannya, bagaimanakah hukum mendirikan bank syari’ah, dan produk apa saja yang boleh atau halal menurut  syariat?




4.      Menambah Keuntungan dalam Jual-Beli Kredit
Deskripsi Masalah :
Budaya masyarakat pragmatis lebih suka berhutang dari pada menabung. Dasar pertimbangannya sangat sederhana, yaitu : apabila menabung hari ini, nilai uang tabungan dalam beberapa tahun ke depan sudah jauh berkurang. Oleh karena itu lebih baik memilih utang, baik utang barang ataupun utang uang dengan pembayaran akan dicicil setiap bulan selama beberapa tahun sesuai dengan kemampuannya. Ketika kedua belah pihak melakukan transaksi jual beli kridit, keduanya telah mengetahui perbedaan harga barang (margin) antara yang kontan dengan yang kridit, misalnya 10%. Atau, apabila yang dibutuhkan adalah uang, bukan barang, maka transaksi tetap dilakukan dengan berpedoman pada harga barang. Misalnya pihak kesatu (yang berpiutang) memiliki sebuah mobil atau sebuah motor menjualnya kepada pihak kedua (yang berhutang) dengan harga tertentu, kemudian setelah serah terima mobil atau motor tersebut dijual kembali oleh pihak kedua kepada pihak kesatu dengan harga lebih rendah, misalnya rugi 10%. Pertanyaannya, bagaimanakah hukumnya transaksi jual beli tersebut?

5.      Jual Beli Surat Berharga
Yang dimaksud surat berharga ialah saham (modal perusahaan), surat simpanan di koperasi, tabungan, giro, dan surat-surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Banyak terjadi di masyarakat apabila pemilik saham, surat simpanan di koperasi, tabungan, giro, struk gaji, gaji pensiunan dan atau surat tagihan lainnya membutuhkan uang kontan secara mendadak, maka ia menjual kertas berharga tersebut kepada orang lain dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan apabila kertas berharga tersebut dicairkan pada waktunya, misalnya selisih 10% atau 15% tergantung lamanya waktu tunggu. Pertanyaannya, bagaimanakah hukumnya jual beli tersebut?

6.      Jual Gadai (Rohn)
Deskripsi Masalah :
Masyarakat muslim yang taat umumnya tidak mau berhubungan dengan bank walaupun mereka membutuhkan uang, karena mereka takut makan riba. Akan tetapi masalahnya, mereka mau menjual gadai atau menggadaikan barang, seperti kendaraan, tanah perkebunan dan tanah pertanian untuk memperoleh pinjaman uang. Mereka menerima sejumlah uang yang dibutuhkan sebagai utang dan menyerahkan barang, kendaraan, tanah perkebunan dan pertaniannya untuk digunakan atau digarap selama utangnya belum dibayar. Pertanyaannya, sahkah transaksi atau akad tersebut, dan halalkah menggunakan barang-barang gadaiannya?

7.      Zakat Sawah Sewaan
Deskripsi Masalah :
Kasusnya terjadi pada seorang petani di suatu desa yang memiliki tanah pertanian seluas 100 hektar. Ia tidak pernah menggarap sendiri sawahnya, melainkan disewakan. Dari hasil sewaannya itu setiap tahun ia memperoleh uang tidak kurang dari 800 juta rupiah. Pertanyaannya, wajibkah ia membayar zakat, dan berapa kadar zakatnya? Pertanyaan berikutnya, apakah penyewa yang menggarap sawah juga wajib membayar zakat, dan berapa kadar zakatnya, padahal ia sudah mengeluarkan biaya besar untuk membayar sewanya dan membayar ongkos mengolah tanahnya?

8.      Uang Muka (Bai’ al-‘Urbun)
Deskripsi Masalah :
Dalam praktek jual-beli sekarang, apabila pihak penjual dan pihak pembeli telah menyetujui harga penawaran suatu barang, maka mereka melakukan transaksi (akad) jual beli dengan membayar sejumlah uang muka (‘urbun) kepada pihak penjual disertai perjanjian bahwa dalam beberapa bulan akan dilunasi semua. Apabila pihak pembeli sampai dengan batas waktu tersebut tidak dapat melunasi sisanya, maka uang mukanya tidak dapat dikembalikan, dianggap hangus. Pertanyaannya, bagaimanakah hukum melakukan perjanjian jual beli dengan uang muka tersebut?

9.      Sumbangan Hajatan
Dalam kehidupan bermasyarakat berlaku sebuah tradisi, apabila salah seorang dari anggota masyarakat mempunyai hajat, maka mereka beramai-ramai memberikan sumbangan, baik berupa uang maupun barang. Dilihat dari satu sisi, sumbangan tersebut merupakan amal social dari masyarakat, tetapi dilihat dari sisi lain, apabila kelak pihak yang menyumbang mempunyai hajat yang sama, kemudian pihak yang menerima sumbangan tersebut berhalangan hadir, baik karena bepergian atau karena kepapaan, maka ketidak hadirannya itu dipertanyakan oleh tuan hajat. Pertanyaannya, apakah sumbangan tersebut wajib dikembalikan karena termasuk hutang yang harus dibayar, atau tidak wajib dibayar karena tidak ada ujab kabul?

10.  Nyolati Orang Jahat
Deskripsi Masalah :
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang kyai dihadapkan pada persoalan yang rumit. Kasusnya terjadi pada seseorang yang sepanjang hidupnya diketahui tidak pernah shalat, tidak pernah puasa, dan suka mabuk-mabuk, kemudian dia meninggal dunia dalam melakukan suatu kejahatan (maksiat), seperti sedang mencuri mobil, mencuri motor, dan sedang meminum minuman keras hingga mati, atau menjambret kemudian tertangkap basah dan mati dihakimi massa. Setelah mati keluarganya meminta agar kyai menyalatkan dan mentahlilkan selama 7 hari, 40 hari dan seterusnya. Pertanyaannya, bagaimanakah hukum nyolati dan mendoakan orang jahat tersebut?

11.  Memberi Uang untuk Memperoleh Hak Terdahulu dalam Ibadah
Deskripsi Masalah :
Persoalan dana talangan haji yang jelas-jelas menghambat dan menghalangi kepergian orang yang sesungguhnya sudah wajib dan sudah istithaah untuk menunaikan ibadah haji, belum selesai dibahas oleh para kyai, sekarang timbul persoalan baru dengan munculnya beberapa orang calon jamaah yang ingin menyalip antrian haji yang panjang (waitinglist) dengan cara memberi sejumlah uang untuk mempercepat keberangkatan ibadah hajinya. Pertanyaannya, bagaimanakah hukumnya apabila menyalip antrian haji yang panjang dengan cara-cara tersebut?

12.  Menerima Saweran Tetapi Tidak Memilih
Deskripsi Masalah :
Ketika pilihan kuwu (pilwu), pilihan bupati (pilbup), pilihan gubernur (pilgub) dan pilihan presiden (pilpres) atau pilihan legislative (pileg), masyarakat banyak yang menerima saweran (pemberian) dari masing-masing calon. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apabila mereka menerima saweran dari semua calon, tetapi hanya memilih salah satunya, atau bahkan tida memilih sama sekali. Pertanyaannya, halalkah menerima uang saweran tersebut? Dan bagaimanakah seandainya masyarakat hanya menerima sawerannya, tetap tidak memilih orangnya?





 



R A L A T  :

DIBERITAHUKAN DENGAN HORMAT, KEPADA WARGA RIFA’IYAH DI SELURUH INDONESIA, BAHWA MUKTAMAR RIFA’IYAH VIII DI KABUPATEN PEKALONGAN AKAN DILAKSANAKAN PADA TANGGAL 4-7 MUHARAM 1435 H / 8-11 NOPEMBER 2013 MOO. PEMBUKAAN DILAKSANAKAN HARI SABTU TANGGAL 9 NOPEMBER 2013 PUKUL 09.00-12.00. CECK IN PESERTA HARI JUM’AT TANGGAL 8 NOPEMBER 2013 PUKUL 13.00 S/D 18.00. PESERTA DARI JAWA DIHARAPKAN MASUK KE LOKASI (PONPES AS-SAMI’ANI SRINAHAN KESESI) MELALUI WIRADESA, DAN PESERTA DARI LUAR JAWA DIHARAPKAN MASUK DARI BANDARA AHMAD YANI SEMARANG. DEMIKIAN HARAP MAKLUM.

PP RIFA’IYAH          
TTD.                             
H. ALI NAHRI

Wednesday, July 17, 2013

Kasus Kasus Perkawinan di Era Kontemporer (Bedah Buku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bersama ADITV))

BAGIAN I
A. Kompleksitas Masalah Perkawinan
Era modern dengan akselerasi berbagai perkembangan, dengan sendirinya membawa dampak perubahan dan dinamika masyarakatnya. Berbagai masalah mengemuka, seperti dekadensi moral, budaya yang semakin permisif, hingga pergaulan bebas. Berbagai kasus perkawinan pun muncul semisal perkawinan antar agama, perkawinan antar warga negara, perkawinan wanita hamil, hingga perkawinan menggunakan alat elektronik (telephone dan telecomefrence). Melihat kenyataan tersebut, ditambah dengan maraknya fenomena gadis-gadis belia yang terlanjur mempunyai anak sebelum akad nikahnya dilaksanakan, dan kasus yang menghebohkan dengan adanya perkawinan sesama jenis, semuanya menambah beban masyarakat yang mengharapkan kehidupan yang harmonis dengan dasar-dasar dan nilai moral keagamaan. Realitas tersebut pada akhirnya menjadi tantangan bagi para ulama fiqh untuk terus mengkaji dan berijtihad guna membantu penyelesaian atas masalah tersebut. Kontroversi atau perbedaan pendapat antar ulama atas kasus-kasus tersebut tentu saja sangat dimungkinkan, tetapi paling tidak fatwa dan pandangan-pandangan mereka akan tetap membantu masyarakat untuk mencari pedoman dan langkah solusi atas berbagai persoalan tersebut. Kasus-kasus perkawinan yang muncul di era kekinian menuntut adanya pengembangan pemikiran fiqh kontemporer, khususnya menyangkut perkawinan dengan segala kompleksitasnya. Artinya, hukum Islam di bidang ini membutuhkan pengembangan pemikiran terus-menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Salah satu masalah yang menonjol dan kian fenomenal akhir-akhir ini, adalah kasus perkawinan wanita hamil di luar nikah. Bermula dari kasus pergaulan bebas (free sex) yang melanda muda mudi, kemudian berlanjut dengan kumpul kebo (samen laven) dan akhirnya hamil serta melahirkan keturunan di luar nikah. Kasus ini terjadi tidak terbatas pada kalangan keluarga yang awam terhadap agama tetapi sampai kepada keluarga yang diidentifikasi sebagai kelompok yang memahami agama dan memiliki wibawa khusus di masyarakat. Banyak orang-orang yang terpandang mempunyai status sosial yang cukup tinggi di masyarakat dan kharismatik kehilangan muka dan tidak sanggup menanggung malu karena salah seorang keluarganya hamil atau menghamili orang lain. Musibah ini telah mewabah (umum al- balwa) di kalangan masyarakat muslim sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks dan kontroversi, baik dalam tinjauan syar’i maupun formal administratif. Kini telah banyak kasus perkawinan hamil yang terjadi di masyarakat. Mereka mencari perlindungan hukum dan meminta kepada PPN untuk melaksanakan pernikahannya . Para PPN memenuhi permintaan masyarakat untuk melakukan pencatatan perkawinan hamil dari zina melalui pendekatan formal bahwa yang bersangkutan tidak ada halangan untuk melaksanakan pernikahan. Mereka tidak mempertimbangkan persyaratan-persyaratan substansial yang dapat mendekatkan pada maqashid al- syari’ah yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Perkawinan bukanlah hanya untuk menghalalkan hubungan suami istri, tetapi juga untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat (hifzh al-nasl). Hal lain yang mendorong untuk melaksanakan perkawinan hamil ialah upaya hukum untuk melindungi hak-hak perdata bagi anak yang akan dilahirkan, di samping untuk melindungi kehormatan keluarga yang telah tercemar namanya di tengah-tengah masyarakat. Di lain pihak banyak masyarakat yang terlanjur mempunyai anak sebelum perkawinannya sempat dicatat di Kantor Urusan Agama (nikah bawah tangan). Akibat kelalaian ini mereka menghadapi masalah yang cukup rumit, yaitu perkawinannya tidak mendapat kepastian hukum dan hak-hak anak yang dilahirkan tidak dapat dilindungi. Hal ini akan berdampak sangat luas, terutama yang menyangkut hukum keluarga (Al-Akhwal Al-Syakhshiyah) dan hukum kewarisan (Al-Ahkam Al-Mawaris). Banyak kasus masyarakat yang mengajukan permohonan untuk mengabsahkan pernikahan (itsbat al-nikah) dengan tujuan untuk memperoleh kepastian hukum agar dapat melindungi hak-hak anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang tidak tercatat perkawinanya di Kantor Urusan Agama. Keadaan seperti ini apabila dibiarkan berlanjut, tanpa ada upaya-upaya preventif untuk mencegahnya (sadd al-dzari’ah), maka akan terbuka masalah-masalah sosial yang lebih luas (fath al-dzari’ah) dan makin menjalar penyakit masyarakat (patologi sosial) yang berupa perzinaan serta memperluas adanya anak-anak terlantar. Syari’at Islam (hukum fiqh) tampak memberi kelonggaran untuk menikahkan wanita hamil dari zina. Hal ini didasarkan pada pemikiran logis bahwa status wanita tersebut tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak pula dalam masa iddah (al-ayim), maka tidak ada halangan untuk dinikahkan. Rasulullah pernah menetapkan keputusan dalam kasus ini dengan mengizinkan untuk dinikahkan, alasannya bahwa perbuatan haram (zina) tidaklah dapat menghalangi perbuatan yang halal (nikah) . Yang dapat menghalangi pernikahan hanyalah hamil dari nikah yang sah, sedangkan hamil dari zina tidak menghalangi pelaksanaan pernikahan, baik dengan ibunya maupun dengan anaknya. Selanjutnya muncul pertanyaan tentang hubungan sebadan setelah berlangsungnya pernikahan tersebut, baik yang pernikahannya dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain dalam kasus laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab. Pertanyaan ini muncul karena berdasarkan logika pada kasus pertama (dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya) akan terjadi percampuran benih (ikhtilath al-nuthfah) antara benih yang suci sesudah nikah (al-nuthfah al-muhtaramah) dengan benih yang tidak suci sebelum nikah (al-nuthfah ghair al-muhtaramah) yang mengakibatkan tercemarnya fithrah. Pada kasus kedua (laki-laki yang menghamili tidak bertanggung jawab dan akhirnya dikawinkan dengan laki-laki lain), maka akan terjadi percampuran nasab (ikhtilath al-nasab) yang sangat dijaga oleh syari’at. Dari pandangan ini muncul pendapat-pendapat yang kontroversial, sebagian pakar fiqh mengatakan bahwa perkawinan hamil dari zina hukumnya sah dan sebagian lagi mengatakan tidak sah. Mereka yang mengatakan sah, bersilang pendapat tentang kebolehan melakukan hubungan sebadan antara kedua suami istri tersebut. Sebagian menetapkan hukumnya boleh (halal) dan sebagian yang lain menetapkan hukumnya tidak boleh (haram) sampai dengan bayinya dilahirkan. Apabila bayinya telah dilahirkan dan ibunya telah suci dari nifas, maka boleh berhubungan sebadan dengan istrinya tanpa memperbaharui perkawinannya. Dalam kasus perkawinan hamil ini, fiqh sebagai formulasi pemahaman syari’at yang menuntut setiap penegak hukum (Hakim Agama dan PPN) agar dapat menerapkan dengan sebaik-baiknya dan masyarakat agar dapat mematuhi dengan setulus-tulusnya sangatlah sulit dilaksanakan. Karena banyak pendapat di kalangan fuqaha seperti tersebut di atas menjurus kepada ketidakpastian hukum. Dengan kata lain bahwa syari’at Islam (baca: fiqh) dalam konteks ini tidak dapat menyelesaikan masalah. Di Indonesia ada rumusan tertulis mengenai Hukum Islam (semacam fiqh) yang menjanjikan kepastian hukum dan menjanjikan dapat menyelesaikan masalah, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI ini dilihat dari prosesnya yang melibatkan para ulama dari berbagai faham atau aliran dapat dikatakan fiqh murni, karena rumusan tersebut merupakan hasil ijtihad jama’ii yang berarti murni hasil pemikiran. Tetapi dilihat dari pelaksanaannya yang menggunakan political power dapat dikatakan sebagai hukum tertulis, karena fiqh hasil modifikasi itu diberlakukan melalui Intruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 1991 dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 154 tahun 1991 sehingga mengikat para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama. Namun KHI cenderung mengadopsi pendapat jumhur yang membolehkan wanita hamil dari zina dinikahkan. Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa seorang “wanita hamil dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya”. Dan dalam ayat (2) menegaskan “setelah bayinya dilahirkan pernikahannya tidak perlu diulang”. Ketentuan ini sebenarnya merupakan langkah maju dan sekaligus jalan keluar dari kemelut hukum akibat dari pengaruh ikhtilaf yang tak kunjung selesai, karena hakim-hakim di seluruh Indonesia akan memutuskan kasus sesuai dengan kekentuan KHI, dan menurut kaidah fiqh bahwa keputusan hakim dalam kasus perbedaan pendapat produk ijtihad dapat menghilangkan pluralisme pandangan. Sayangnya ketika memasuki tataran praktis, konsep hukum Islam yang tertuang dalam KHI ternyata masih mengalami hambatan, karena di masyarakat masih terdapat dualisme hukum, yaitu fiqh murni di satu sisi dan fiqh kompilasi di sisi lain. Ulama pimpinan Pondok Pesantren dengan keyakinannya bahwa fiqh murni adalah syari’at yang wajib ditegakkan, mereka berusaha keras agar ketentuan-ketentuannya berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan praktisi hukum Islam (Hakim Agama dan PPN) berusaha untuk memberlakukan fiqh kompilasi. Pertentangan ini boleh jadi karena ada perbedaan visi yang sangat mendasar. Kelompok ulama ingin mempertahankan norma yang dianggapnya sakral dan transendental sehubungan dengan posisinya sebagai ulama waratsah al-anbiya yang bertanggung jawab kepada Allah SWT. Sedangkan Hakim Agama dan PPN mempertahankan norma yang berdimensi horizontal sehubungan dengan posisinya sebagai pejabat yang harus bertanggung jawab secara struktural. Dari kasus perkawinan hamil yang dilematis ini, muncul kasus baru yang lebih rumit, karena menyangkut masalah-masalah sosial yang lebih luas. Kasus yang dimaksud adalah tentang status nasab anak yang dilahirkan, apakah dapat dinasabkan kepada bapaknya ataukah tidak. Kendati syari’at Islam tidak melakukan diskriminasi terhadap anak yang dilahirkan dan secara tegas menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan berstatus fithrah , dan tidak ada alasan untuk mempersalahkan anak lantaran perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang tuanya, tetapi Islam dalam konteks ini mempunyai kepentingan, yaitu untuk mengatur keturunannya (al-muhafazhah ‘ala al-nasl). Dari sudut inilah syari’at Islam membagi anak ke dalam dua katagori, yaitu anak sah dan anak zina atau diperhalus menjadi anak luar nikah. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, sedangkan anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan luar nikah. Syubhat yang mendasar pada anak yang dilahirkan dari perkawinan hamil adalah bahwa secara formal anak itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan bapaknya benar-benar mengakui anak itu sebagai anaknya sendiri atau sekurang-kurangnya tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga “li’an”. Tetapi secara substansial anak itu terjadi melalui hubungan ilegal (al-sifah) sehingga timbul pertanyaan apakah status anak tersebut menjadi anak sah ataukah anak zina, atau dapatkah disahkan melalui Lembaga Pengakuan Anak (iqrar al-nasab). Para pakar Hukum Islam (fuqaha) telah menetapkan bahwa anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya (walad al-mulhaq) apabila umur kandungannya lebih dari enam bulan terhitung sejak tanggal perkawinannya, tetapi apabila kurang dari enam bulan, maka tidak dapat dinasabkan kepada bapakya, melainkan hanya kepada ibunya. Dilihat dari pertimbangan hukumnya keputusan ini mempunyai kelemahan, karena pertimbangnanya hanya mendasarkan pada masa hamil yang terpendek (aqallu muddah al-hamli) yaitu enam bulan. Pertimbangan hukum yang demikian dapat diterima (logis) apabila kasusnya menyangkut wanita yang sering terlambat haid atau tidak pernah haid sama sekali sehingga saat melangsungkan pernikahan masih belum diketahui secara pasti apakah yang bersangkutan sedang hamil atau tidak. Sekarang masalahnya sudah diketahui bahwa pada saat berlangsungnya akad nikah calon penganten wanita telah hamil. Yang menjadi musykil di sini ialah adanya perbedaan status anak yang dilahirkan sebelum dan sesudah enam bulan, padahal kedua-duanya telah jelas dari proses hubungan ilegal (zina), dan pembuahannya terjadi sebelum akad. KHI berpandangan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari perkawinan yang sah (pasal 99 ayat 1). Jika dicermati statemen ini maka akan tampak bahwa KHI membuka peluang untuk menampung anak yang lahir dari akibat perkawinan hamil ke dalam pengertian anak yang sah. Karena diktum tersebut menggunakan kata “dalam”, maka artinya setiap anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dapat dianggap sebagai anak sah. KHI sama sekali tidak mempertimbangkan apakah perkawinan tersebut dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya atau tidak, dan tidak pula mempertimbangkan apakah dilahirkan sesudah enam bulan dari perkawinannya atau tidak. Seandainya KHI tidak mencantumkan kata “dalam” dalam diktum tersebut, maka maknanya tidak menampung anak yang terjadi pembuahannya sebelum akad. Oleh karena KHI membuat rumusan yang tidak tepat, maka kasus anak yang dilahirkan akibat perkawinan hamil kembali tidak mendapat kepastian hukum sehingga tetap menjadi ajang pertentangan ulama fiqh. Dari latar belakang tersebut di atas, maka tampaklah bahwa masalah ini masih relevan dilakukan dengan maksud untuk mencoba memecahkan kemelut hukum yang masih belum final. Sehingga fiqh sebagai formulasi dari pemahaman syari’at, dan undang-undang yang menjadi sumber legislasi yustisial dapat menjamin kepastian hukum, terutama yang menyangkut perkawinan wanita hamil dari zina dan status keabsahan serta hak-hak anak yang dilahirkan. Berdasarkan dari uraian tersebut, terdapat sejumlah masalah terkait perkawinan wanita hamil dari zina baik menyangkut keabsahan menurut fiqh dan menurut undang-undang, hak-hak anak yang dilahirkan serta dampak sosialnya di masyarakat.