Sunday, October 30, 2016

PEMIKIRAN SYEKH AHMAD RIFA’I



PEMIKIRAN SYEKH AHMAD RIFA’I
Oleh : Prof. Dr. Abdul Djamil, MA

            Disertai ini merupakan rekonstruksi sejarah intelektual dan sejarah social dari tokoh gerakan Rifa’iyah yaitu KH. Ahmad Rifa’i menyangkut pemikiran dan Gerakan Islamnya. Apa yang dimaksud dengan sejarah intelektual adalah rekonstruksi pemikiran Islam Kiai Rifa’I sebagaimana dituangkan dalam tulisannya yang berjumlah enam puluh Sembilan, terdiri dari tiga ilmu keislaman yaitu Usul, fikih dan Tasawuf. Adapun yang dimaksud sejarah sosial dalam tulisan ini adalah rekonstruksi gerakan Islam kiai Rifa’i menyangkut dinamikanya ditengah-tengah gerakan sosial keagamaan pada abad sembilan belas. Dengan rekonstruksi tersebut akan diketahui tipologi gerakan yang memiliki karakter tersendiri dibanding dengan gerakan lainnya.
            Dalam melakukan rekonstruksi tersebut, dipergunakan pertimbangan sosiologis sehingga tampak pemikiran maupun gerakan Islamnya merupakan jawaban terhadap suasana Kalisalak pada abad sembilan belas. Inilah yang membedakannya dengan tradisi pemikiran dan gerakan Islam di Jawa pada waktu itu yang secata rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.   Dilihatdari segi hubungan ajaran agama dengan dimensi ruang dan waktu, pemikiran Rifa’I relevan dengan masyarakat Islam abad Sembilan belas, khususnya pendalaman Jawa Tengah. Ajaran mengenaisosok (‘Alim ‘Adil) adalah refleksi dari kritiknya terhadap tokoh-tokoh agama yang mau bekerjasama dengan penguasa asing (Belanda). Pandangannya mengenai rukun Islam satu dapat dipandang sebagai upaya untuk memberikan legitimasi bagi orang-orang Islam di wilayah pedesaan yang karena suatu alas an tidak dapat menjalankan kewajiban Islam lainnya seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Dengan pandangan ini orang-orang tersebut masih berstatus sebagai orang Islam yang memiliki banyak harapan.
Demikian pula pandangannya mengenai pernikahan yang mengesankan adanya keharusan untuk diulang (tajdid Al-nikah) mencerminkan kritiknya kepada pejabat agama yang dinilainya tidak memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai petugas nikah seperti saksi karena mereka ini dianggap tidak memenuhi syarat. Salah satu diantaranya adalah harus mursyid, yakni orang yang tidak melakukan tindakan fasik. Sedangkan saksi nikah harus memenuhi enam belas syarat, dua diantaranya tidak cacat marwat dan tidak ifasiq.
Dari penjelasan tentang persyaratan saksi nikah di atas, sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara pandangan Rifa’I dengan kitab-kitab fikih di dunia pesantren, hanya saja dalam penerapannya, ia terlihat menekankan pada aspek yang relevan dengan suasana keagamaan di tengah-tengah kekuasaan Belanda pada abad Sembilan belas.
Karena sedemikian banyaknya penjelasanmengenai hubungan antara ajaran agama dengan persoalan yang timbul pada waktu itu, maka pemikiran keagamaan Rifa’I terlihat sedemikian rinci mengupas berbagai masalah masyarakat yang timbul. Akibat dari tipe kupasan yang demikian ini berakibat kurang memberikan ruang gerak  bagi pengikutnya untuk melakukan inovasi dalam memahami agama sejalan dengan tuntutan keadaan yang selalu berkembang. Kondisi ini didukung oleh kenyataan bahwa mayoritas pengikut Rifa’iyah hidup dalam lingkungan kebudayaan pedesaan sehingga tidak dapat mengikuti irama perkembangan permasalahan sosial keagamaan kontemporer.
2.   Dilihat dari hubungannya dengan kelompok-kelompok keagamaan lain, pemikiran program kiai Rifa’i memiliki semangat yang esklusif ia terlihat berusaha menciptakan isolasi secara cultural dengan kebudayaan penguasa. Akan tetapi unsure yang seharusnya dilihat dalam kerangka ruang dan waktu penjajahan Belanda ini, ternyata berlanjut hingga pasca kemerdekaan dan bahkan hingga sekarang. Kesan inilah yang menjadikannya sebagai aliran keagamaan yang disana sini masih saja menghadapi hambatan mulai dari legalisasi pemerintah sampai dengan hubungannya dengan masyarakat luas diluar Rifa’iyah.
3.   Dilihat dari segi faham keagamaan, pemikiran Rifa’I merupakan tipe sinkronisasi antara aqidah, syari’a dan tasawuf. Pemikirannya dapat dipandang sebagai tipe palinf awal dalam merumuskan pengertian Ahlussunnah waljama’ah  dalam konteks Jawa yang pada intinya mengikuti pandangan ulama kepercayaan (taqlid) pada tiga bidang yaitu Usul, Fikih dan Tasawuf.
Cara taqlid yang dikembangkan kiai Rifa’I merupakan cermin dari upaya konstektualisasi pemahaman agama sesuai dengan tingkat kemampuan masyarakat dalam menggali ajaran dari sumber pokoknya (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia sadar bahwa masyarakat Islam dalam konteks Kalisalak dan sekitarnya pada pertengahan abad Sembilan belas, tidak mungkin diajak untuk berijtihad yang menuntut berbagai persyaratan, khususnya penguasaan ilmu-ilmu yang diperlukan untuk melakukan ijtihad seperti Bahasa Arab, ilmu tentang Al-Qur’an, ilmu tentang Al-Sunnah  pengetahuan tentang posisi Ijma’, pengetahuan tentang Qiyas, pengetahuan tentang tujuan hokum, bersihnya niat dan I’tiqadnya.
4.   Dilihat dari segi hubungan antara norma dan kenyataan sosial, pemikiran kiai Rifa’I bercorak induktif dalam arti berangkat dari fenomena di lapangan yang sedemikian majemuk, kemudian dicari referensinya dari Al-Qur’an, Al-Hadis dan pandangan ulama. Karena tipe pemikiran semacam inilah yang mengesankan kiai Rifa’I sebagai sosok ulama yang terlihat banyak mencampuri urusan di luar ibadah mahdah.
Dibanding dengan tokoh sejamannya seperti Nawawi al-Bantani, atau tokoh sebelumnya seperti Arsyad al-Banjari, Rifa’i lebih memperlihatkan tipe tersendiri dalam pemikirannya. Pemikiran Nawawi al-Bantani yang lebih banyak tinggal di Mekkah hingga wafatnya bercorak deduktif berpijak dari rumusan ajaran agama dari ulama Ahlussunnah. Akibatnya kurang memiliki kepedulian terhadap suasana umat Islam di bawah kekuasaan penjajah. Seperti halnya Nawawi, Arsyad al-Banjari juga memiliki corak serupa jika dilihat beberapa kitab tulisannya.
            Dengan tipe seperti ini maka pemikiran Nawawi dalam berbagai kitab yan ditulis memiliki ketahanan cukup lama tidak menimbulkan kontroversi. Kitab-kitab masih banyak dibaca oleh kalangan pesantren di Indonesia. Keadaan yang sama juga dialami oleh Syeh Arsyad al-Banjari yang hingga sekaran tulisannya masih dibaca orang, khususnya diwilayah Kalimantan Selatan. Sebaliknya pemikiran Rifa’i yang tipenya induktif kurang dapat memiliki elastisitas untuk masa-masa yang akan dating, sekalipun pada waktu itu benar-benar memberi kemudahan bagi umat Islam dalam konteks lokal abad Sembilan belas.
Dilihat dalam konteks aneka ragam derakan yang terjadi pada paruh pertama dari abad Sembilan belas, gerakan KH. Ahmad Rifa’i dapat digolongkan kedalam gerakan keagamaan dengan corak tradisional yang memiliki implikasi sosial (Religio-Tradisional Movement).
Ciri-ciri utamanya memiliki elemen-elemen seperti loyalitas lokal (local Loyalti), hubungan kekerabatan (kin solidarity) dan hubungan-hubungan berdasarkan status tradisional (traditional status relations). Elemen pertama terlihat pada kuatnya keterikatan anggota gerakan kepada tokoh sentral (KH. Ahmad Rifa’i). anggota gerakan malihat sosok Rifa’i guru dengan berbagai macam kelebihan mulai dari kedalaman ilmu agama sampai dengan charisma yang bertumpu pada keluar Biasaan sebagai kekasih Tuhan (Wali) . Sedemikian kuatnya ketertarikan tersebut sehingga loyalitas oengikut terhadap ajaran Rifa’I bertahan cukup lama (Hingga Sekarang) meskipun sering di anggap sebagai gerakan pengacau oleh berbagai kalangan . Namun demikian, hal ini menimbulkan implikasi lain yaitu kesulitan anggota gerakan untuk menyesuaikan dengan dinamika masyarakat, khususnya dalam penerapan ajaran Islam di tengah – tengah masyarakan modern.
            Hubungan kekerabatan juga menjadi elemen penting dari tipe gerakan Rifa’iyah yang terlihat semenjak Rifa’i membangun komonitas santri di kalisalak . Komonitas yang dibentuk melalui pengajaran Islam dengan kitab Tarajumah ini memiliki ikatan social yang kuat sehingga me4ngkhawatirkan pemerintah colonial di satu pihak dan birokrat tradisioanl di lain pihak . Fanatisme hubungan antar sesame anggota seringkali melampaui batas – batas hubungan darah sehingga warga Rifa’iyyah yang satu merupakan saubara bagi yang lain.
Hubungan antar anggota berdasarkan status tradisional , terlihat pada adanya hierarki pada kominitas Rifa’iyyah , di mana kiai Rifa’iyyah menduduki posisi tertinggi. Hal ini terlihat pada cara mereka melakukan dakwah Islam, pelaksanaan salat Jum’at pengulangan perkaawinan dan anggota bilangan jum’at. Semuanya memperlihatkan apresiasi yang sedemikian tinggi kepada kiai atas dasar ajaran Rifa’I mengenai figure ‘Alim ’Adil
            Implikasi yang muncul dari tipe gerakan keagamaan yang demikian ini adalah adanya hambatan dalam berkomonikasi secara luas dengan masyarakat Islam lainya  di luar Rifa’iyyah. Otoritas Rifa’I yang sedemikian kuat dalam mengemukakan pendangan agama menjadikan murid – muridnya tidak dapat berfikir secara alternative . Inilah yang kemudian menjadikanya sebagai  gerakan ekslusif yang sering menghadapi persoalan. Situasi ini digambarkan oleh laporan berbagai pihak kepada penguasa colonial yang menganggapnya sebagai pembawa ajaran islam sesat dan menyalahkan orang islam lain yang tidak masuk  dalam kelompoknya. Jika pemerintah melihat fenomena gerkan Rifa’I sebagai bahaya laten yang sewaktu – waktu dapat mengorbankan  semangat anti pemerintah , maka kalangan birokrat jawa  (Priyai) menempatkanya sebagai sosok kiai yang perlu di wasadi karena ajaranya yang cenderung menyalahkan orang Islam lainya.
            Selain itu, pemikiran modern tidak dapat berkembang sejalan engan tuntutan zaman karena keterpakuan kepada loyalitas local tanpa memiliki pelung untuk melakukan inovasi pemikiran. Namun demikian sebagai gerakan yang selalu dihadapkan pada berbagai tuduhan negative, ia memiliki kemandirian dalam konsolidasi yang dibuktikan pada sejumlah pertemuan dasar yang merekaselenggarakan dan penghimpunan dana untuk mencapai tujuan organisasi.
            Tipologi gerakan keagamaan yang bersifat tradisional tersebut pada dasarnya merupakan gerakan budaya yang bertujuan menciptakan isolasi cultural dengan kekuasan atau protes secara diam (silent protest). Geraan seperti ini merupakan konsekuensi logis dari  ketidakberdayakan menghadapi kekuasaan secara terbuka atau merupakan alternative lain dalam bentuk mobilisasi bawah tanah melalui kekuatan ajaran Agama, charisma tokoh dan solidaritas anggota sebagaimana diperlihatkan oleh grakan Rifa’iyah.
           

No comments:

Post a Comment